Selasa, 24 April 2012

The Truth of Acil

Jika aku bercerita, aku cukup sering menggunakan karakter ini. ACIL, ya, itulah tokoh utamanya. Siapakah sebenarnya si Acil ini? Tentu dia bukan seseorang manusia yang ku kenal, dan yang pasti bukan panggilan untuk salah seorang teman SMPku Arsyil. Bukan dia tentunya, hhh…

Acil itu kurang lebih merupakan akronim dari Anak Kecil. Kenapa harus anak kecil? Sebab bagiku anak kecil merupakan salah seorang guru terbaik, yang mengajarkanku hidup bahagia dengan mempertahankan karakter-karakter kejujuran.

Manakala mentari tua lelah berpijak,
Manakala bulan dan bumi enggan tersenyum,
Berkerut-kerut tiada bersedih,
Tersendat-sendat merayap dalam kegelapan,

Lilin-lilin kecil….

Lagu yang dinyanyikan oleh almarhum Chrisye ini, mirip dengan penafsiranku pada anak-anak. Anak-anak menjadi pelipur saat guru-guru kita yang notabene lebih dewasa dari kita tak mampu memberi pencerahan atas situasi hidup yang kita alami. Ketika siang hari dan malam hari terasa suram, mereka tak kunjung sedih, dan mampu bersikap ceria, kendati bermain sendiri. Ya, anak kecil sering sekali terlihat tersenyum, tertawa kecil, penuh rasa ingin tahu, tentu dalam balutan kepolosannya. Dalam ketidaktahuannya mereka tak gundah oleh pikiran yang membatasi persepsi. Dapat kau simpulkan bahwa aku mendapatkan banyak inspirasi dan imajinasi melalui salah satu keajaiban Tuhan ini.

Itulah Acil, karakter ini mewakili anak kecil. Aku tak kan membiarkan karakter ini, membawa peran sebagai skeptis, atau melankolis kelas kakap. Dia, senantiasa bersikap polos dan tak pernah kehilangan semangat untuk mencari tahu. Pertanyaan-pertanyaannya sangat sederhana, namun mungkin mengakar. Jawaban-jawaban si Acil pun mudah dicerna bagi pembaca.

Acil, lahir dari kekosongan tendensi. Dibesarkan dalam rasa ingin tahu dan kejujuran. Dan ditemani, daya fokus yang cukup tinggi untuk mengingat dan meneliti setiap rangkaian kata yang ia dengarkan dari orang-orang yang ia temui.

Berikut, ku kisahkan, tentang salah satu perjalanan si Acil. Suatu ketika, ia dibawa sang bunda ke tempatnya kuliah. Sang Ibu, sedang menyelesaikan program S1 untuk jurusan pendidikan. Sebenarnya, Ibu Acil itu sudah menjadi Guru PNS. Namun, karena peraturan terbaru yang mengharuskan ia  bergelar S1, ibunda Acil kemudian melanjutkan studinya dari Ahli Madya Pendidikan untuk meraih gelar Strata satu dalam pendidikan.

Singkat cerita, tibalah Acil bersama sang bunda di kelas pengajaran. Kali ini yang mengajar adalah seorang Profesor yang tentu sudah sangat mahir dalam berdialektika dan sudah terlalu sering dalam berdebat. Dalam pengajarannya ia berujar,

“Jika Tuhan Maha Kuasa, tentulah Dia Kuasa membuat batu yang sangat besar hingga Tuhan pun tak mampu mengangkat batu itu”

Hadirin kebingungan mendengar perkataan itu dari sang dosen. Sebagian besar hadirin adalah orang-orang beragama. Tentulah mereka beragama, wong tinggal di negara yang berlandaskan Ketuhanan. Kuat rasa dalam hati mereka untuk mendebat sang guru, namun mereka belum mendapatkan ide untuk mengapresiasi ungkapan sang dosen dengan alasan dan cara yang tepat. Sebagian, dari mereka mulai berfikir, “Itu benar, jadi sangat tak logis jika Tuhan disebut Maha Kuasa, toh ia sendiri tak terlihat berbuat apa-apa ketika seorang pedagang dirampok, atau ketika seorang gadis direnggut kehormatannya oleh lelaki biadab”

Tiba-tiba Acil yang berada dalam pangkuan ibunya, menangis. Rupanya, ia pipis dan merasa gerah dengan air pipis itu. Ibunya, menggerak-gerakkan badan Acil biar dia terdiam. Namun, tangisannya semakin lama semakin kencang sehingga memikat perhatian rekan-rekan sang Bunda, termasuk sang Profesor.

Profesor, sang ahli dialektika, kemudian mendekati Acil bersama bunda yang terlihat cemas mengayun-ayunkan si Acil dalam pangkuannya. Sambil, tersenyum, sang dosen berkata,

“Ibu, dibawa ke belakang saja dulu anaknya, mungkin dia pipis”
“Iya, Prof, betul, baju saya pun rasanya seperti basah, saya mohon ijin dulu meninggalkan kelas”

Ibunda Acil segera berdiri dari kursinya untuk meninggalkan kelas namun tiba-tiba, si Acil meronta-ronta, sambil teriak-teriak,
“Mama, mama, mama…!!”
“Ada apa sayang?” jawab bunda dengan lembut
“Pa Dosen juga bisa pipis kayak aku, kan? Apa beliau bisa pipis di depan kita?”

Dialog itu terdengar oleh seluruh peserta yang hadir. Sebagian dari mereka terlihat, tersenyum lebar. Sebagian lagi, berusaha sekuat tenaga menahan tawanya. Sedang sebagian lagi mulai memikirkan kesamaan konsep dari pernyataan sang dosen dengan ucapan polos si Acil.

“Tentu, Pa Dosen bisa”, sang Profesor dengan perasaan maklum menjawab pertanyaan polos Acil
“Dapatkah Bapa membuktikannya sekarang?” tanya seorang mahasiswa tiba-tiba
“Untuk apa saya melakukannya?” Profesor bertanya balik
“Untuk membuktikan bahwa Bapa dapat pipis!” jawab mahasiswa itu sederhana
“Tentu saja, saya dapat pipis. Dan untuk membuktikannya tidak harus dengan pipis di depan kalian”
“Jadi, meski tak dapat pipis di depan kami, masih logis untuk dikatakan Bapa dapat pipis?” tanya mahasiswa itu meyakinkan
“Ya, karena itulah yang terjadi sebenarnya”
“Dengan demikian, kendati pun Tuhan tak kuasa membuat batu raksasa, maka masih logis untuk dikatakan Tuhan Maha Kuasa?” tanya mahasiswa itu mulai mengarahkan ke maksudnya

Profesor termenung sejenak, ia kemudian membalas pertanyaan kritis dari sang mahasiswa,
“Ini cukup membingungkan, namun apalah arti Kuasa Tuhan jika untuk membuat batu raksasa saja Dia tak kuasa?”
“Apalah arti Bapa berkuasa untuk pipis, jika untuk pipis di depan kelas saja, Bapa tidak bisa?”
“Sudah saya katakan, dari tadi. Saya tak perlu pipis di depan kelas, hanya karena untuk membuktikan bahwa saya dapat pipis, sebab itu sudah terbukti. Sejak kecil saya dapat pipis, di rumah, tiap hari saya pipis”
“Dan Tuhanpun tak perlu membuat batu besar hanya untuk membuktikan kepada kita bahwa Dia Maha Kuasa. Sebab Kuasa Tuhan sudah terbukti. Alam raya ini adalah buktinya. Tak mungkin alam raya ada dengan kebetulan, sebab sesuatu yang kebetulan tidak mungkin tertata dengan rapi. Tuhan Maha Kuasa menjadikan malam tak dapat mendahului siang, dan siang tak dapat mendahului malam. Tuhan Maha Kuasa menjadikan mata sebagai alat untuk melihat, telinga tak dapat digunakan untuk melihat. Kita tak kuasa membaca buku dengan telinga. Tuhan Maha Kuasa menjadikan telinga sebagai alat untuk mendengar, kita tak kuasa mendengarkan musik dengan hidung. Tuhan Maha Kuasa menjadikan bumi mengitari matahari dalam kurun 365 seperempat hari dalam satu putaran. Tak pernah bumi keluar dari aturan Tuhan ini. Apakah Bapa pernah mencatat bumi mengitari matahari dalam waktu 1 juta hari dalam satu putarannya? Tidak! Tuhan Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu dengan fungsinya masing-masing, dengan dayanya masing-masing. Tuhan Maha Kuasa menjadikan gerak alam raya ini tertata rapi. Apakah keajaiban-keajaiban yang kita temukan setiap hari itu tidak cukup sebagai bukti bahwa Tuhan Maha Kuasa?”

Hadirin bersorak sorai, mendengarkan argumentasi rekan mereka. Sedang sang profesor terdiam tak dapat berkata apa-apa lagi. Ya, dimulai dari si Acil yang pipis.

***
Tentu, aku tak bermaksud untuk menyampaikan bahwa Tuhan tak berkuasa untuk membuat batu raksasa. Namun, jika batu raksasa yang Tuhan buat membuat Tuhan tak berkuasa mengangkatnya, tentulah Tuhan jadi tidak Maha Kuasa lagi. Jadi, secara logis, pernyataan profesor ini mengandung kontradiksi.

“Jika Tuhan Maha Kuasa, tentulah Dia Kuasa membuat batu yang sangat besar hingga Tuhan pun tak mampu mengangkat batu itu”

maka, Profesor sama dengan mengatakan,

“Jika Tuhan Maha Kuasa, maka dia bukan Maha Kuasa (karena tidak kuasa mengangkat batu besar)”

Pernyataan ini menyalahi 3 prinsip penalaran sekaligus, yakni,

Satu, prinsip identitas, yang bunyinya kira-kira begini,
“sesuatu yang disebut dengan x, maka identik dengan x itu sendiri”

Contoh, jika kita sepakat sesuatu tertentu disebut apel, maka sesuatu itu sampai kapanpun dalam pembahasan yang sama harus disebut apel, tidak boleh disebut bukan apel.

Dua, prinsip nonkontradiksi,
“sesuatu yang merupakan anggota x jelaslah tidak mungkin sekaligus anggota non x”

Contohnya, sama dengan contoh di atas. Karena setiap contoh logika, dapat diuji dengan semua prinsip logika. Inilah salah satu keistimewaan logika. Contoh lain, misalnya, jika si A adalah berfisik lelaki, maka dalam waktu dan tempat yang sama si A tidak mungkin berfisik wanita.

Tiga, prinsip ekslusi tertii,
“sesuatu hanya sebagai anggota x atau anggota non x saja, mustahil ada di antara keduanya”

Artinya, tidak ada jalan ketiga, tidak ada setengah x, dan tidak ada setengah non x. Lalu, bagaimana dengan banci atau gadis tomboy?

Banci itu secara fisik adalah fisik laki-laki bukan fisik wanita. Jadi, dalam pembahasan fisik, banci digolongkan dalam laki-laki, bukan fisik wanita. Sedang dalam pembahasan jiwa, mungkin dia akan digolongkan dalam jiwa wanita. Begitupun dengan gadis tomboy, kebalikan dari banci.

Dan pernyataan Professor di atas menyalahi 3 prinsip penalaran ini. Profesor mengatakan,

“Jika Tuhan Maha Kuasa, tentulah Dia Kuasa membuat batu yang sangat besar hingga Tuhan pun tak mampu mengangkat batu itu”

maka, Profesor sama dengan mengatakan,

“Jika Tuhan Maha Kuasa, maka dia bukan Maha Kuasa (karena tidak kuasa mengangkat batu besar)”

Sedang menurut,

Prinsip identitas, Jika Tuhan Maha Kuasa, maka Dia tetap Maha Kuasa
Prinsip nonkontradiksi, Jika Tuhan Maha Kuasa, mustahil Tuhan menjadi tidak Maha Kuasa
Prinsip ekslusi tertii, Jika Tuhan Maha Kuasa, maka Tuhan hanya Maha Kuasa saja, mustahil jadi tidak Maha Kuasa dan mustahil pula jadi setengah Maha Kuasa

Dengan demikian, pernyataan Profesor tersebut menyalahi prinsip penalaran logika, sehingga dapat dikatakan sebagai pernyataan tak logis.



Simpulan dari salah satu cerita bertokoh utama Acil ini ialah, Tuhan Maha Kuasa, dengan segala bukti yang kita temui, alami dan rasakan sepanjang hari. Kekuasaan Tuhan tak dapat diukur dengan pengetahuan manusia. Sebab pengetahuan manusia terbatas, sedang Tuhan tidak terbatas, dan memiliki sifat berbeda dengan makhlukNya.

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia (QS Yaa Siin: 82)

Sedang manusia, jika berkata, “Hey, jadi kucinglah kamu!” maka belum tentu, bahkan tidak mungkin manusia menjadi kucing hanya karena ucapan manusia lainnya.

Tiada yang menyerupaiNya sesuatu juga dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS Asy-Syuroo: 11)

Hmm, jadi inget aqo’idul iman, waktu jasadku ini masih berseragam TK, aku sering melantunkan sifat-sifat Alloh dalam lagu yang dibawakan oleh Bimbo. Apakah kawan-kawan masih inget?

Wujud, Qidam, Baqo, Mukholafatulilhawadisi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyat, Qudrot, Irodat… Ilmu, Hayat, Sama’, Bashor, Kalam, Qodiron, Muridan, ‘Aliman, Hayan, Sami’an, Bashiron, Mutakaliman…

Iman, Tauhid, Ma’rifat, Islam…
Iman, Tauhid, Ma’rifat, Islam…

Sedih, rasanya ketika fisik sudah meninggi, namun ilmu tak ikut meninggi
Pilu, rasanya saat fisik mulai dewasa, namun sikap tak ikut dewasa
Menyesal rasanya, saat usia mulai bertambah, namun kesadaran malah melemah

Astaghfirulloohaladliim waatuubu ilaihi…

This is all about me…

1 komentar: