Minggu, 22 April 2012

Tiga Oktober


Shubuh waktu itu, di suatu perkampungan, jama’ah sedang memperingati hari kelahiran Baginda Nabi saww..

Hujan deras waktu itu, didalam satu majelis, seorang wanita tengah terengah-engah menahan sekuat daya, sambil dipapah hadirin ke luar mesjid… entah sampai kapan wanita muda dapat bersabar atas rasa sakitnya, sembari di guyur hujan deras, 3 Oktober…

Dan dia, dibawa ke suatu rumah sederhana
Dan dia, dido’akan hadirin yang bergelimang khawatir
Dan dia, ditemani suami muda yang was-was dan berharap sepenuh hati menghadapi kenyataan yang akan menjadi pengalaman pertamanya menjadi seorang ayah

Oh, alangkah kuat sang wanita berjuang melawan sakit
Oh, alangkah sabar sang wanita bergelut dengan darah yang mengalir
Oh, alangkah tulus sang wanita bertaruh nyawa

Untuk sang anak yang entah dapat berbuat apa kepadanya
Bagi calon pemimpin yang entah dapat menjadi apa di dunia ini
Untuk sebuah kerinduan akan buah hati
Engkau korbankan seluruh tubuh, tenaga, rasa, dan segala dayamu

Oh, ibunda tercinta…
Darah sucinya mengalir, membasahi putra yang didamba, dengan bertaruh jiwa raga… namun, senyumnya tetap memekar, menafikan rasa sakit yang mengakar…

Duhai pecinta sejati, harumlah jiwamu
Indahlah, ketulusanmu
Dalam bakti dan abdi yang tak mungkin terbalas oleh putramu

Shubuh, tepat saat berkumandang adzan shubuh, jasadku terlahir, maka diadzanilah kuping kananku, dan diiqomahkanlah kuping kiriku, sebagai wasilah dari harapan orang tuaku, biar hatiku tunduk pada kebenaran…

Diberikanlah simbol pengenal untukku, dua kata mulia,
Imam Ulumuddin, dua kata berisi harapan yang merindukanku
Imam, biar aku dapat menjadi pemimpin
Ulumuddin, yang mengetahui agama

Demikianlah, cerita, dari cerita, yang dibingkai rasa singkat yang tak mampu mewakili keharuanku, dan menitislah air mata ini membasahi suatu bentuk yang dinamakan dengan pipi dalam budaya Indonesia tercinta…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar