Rabu, 25 April 2012

Menaklukkan Ketakutan #2




Lanjut…
Pertanyaan kedua,
Kenapa kau menyamakan mereka (5 rasa+rasa yang tak mengenakkan lainnya) seperti ikan-ikan di kolam “ketakutan”?

Kenapa ya? Ya, niru-niru penulis aja. Kayak ka Andah misalnya. Tulisan-tulisannya sering menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang menjadi inspirasi untuk mengenal maknanya dengan lebih luas. Hehe…

Begini, sifat ikan selalu hidup di air. Maka tak dapatlah hidup si ikan itu tanpa ada air. Begitupun dengan 5 rasa itu (juga rasa-rasa yang tak mengenakkan lainnya) selalu hidup dalam ketakutan. Maka tak mungkinlah ada 5 rasa itu tanpa ketakutan.
Bisakah kau tunjukkan buktinya?

Walah, aku ko jadi ngerasa di pengadilan. Hehe… oke, Bro, kita tengok lagi pendapatku soal 4 ciri yang membedakan 5 rasa itu dengan jenis perasaan yang lain. Dan jika diamati, 4 ciri ini asal-usulnya dari “ketakutan”. Gini, lho, ceritanya…

Satu, keyakinan bahwa hidupmu ditentukan oleh situasi dan kondisi yang diluar kontrolmu

Yang dicetak tebal di atas itu salah satu anak dari ketakutan lho. Eh, eh, bijimane prosesnya? Misalnya,

Bro, sedang naik motor di jalan setapak. Eh, tiba-tiba remnya blong. Lalu, apa yang ada dalam pikiran Bro waktu itu?
“Gawat, kalo ada belokan tajam, Bro  bisa terjun bebas ke jurang sana, dan melayanglah nyawa Bro.” Artinya, Bro yakin kalo hidup Bro ditentukan oleh situasi dan kondisi yang di luar kontrol Bro.

Kalo, aku mau tanya lagi, apa yang pertama kali Bro rasakan sebelum berfikir macam itu? Bro, pasti takut, waktu tahu kalo remnya blong, dan dari ketakutan itu muncullah pikiran “Gawat, kalo ada belokan tajam, Bro bisa terjun bebas ke jurang sana, dan melayanglah nyawa Bro”. Jadi, yang dicetak tebal di atas itu anaknye ketakutan.

Dua, keyakinan bahwa kau harus melakukan segala sesuatunya dengan sempurna (semuanya harus sempurna)

Lha, kalo ini, apa keturunan si “ketakutan” juga?
Yoi,yoi, en gini contohnya,

Bro, disuruh ama si Bos, buat ngerjain tugas spesial. Apa yang Bro pikirkan waktu itu?
“Aku harus menyelesaikan tugas ini dengan sempurna!”

Kenapa Bro berfikir macam itu?
Karena Bro takut ama si Bos, takut dipecat, takut tak dinaikkan jabatan, takut dianggap bodoh, de el el. Asal-muasalnya ketakutan juga, khan?

Tiga, keyakinan bahwa kau harus melakukan segala sesuatu itu dengan secepat-cepatnya

Kalo, yang ini gimana coba ngejelasinnya. Apa masih berasal dari ketakutan?

Oh, tentu, saja… (sambil bergaya Sule, hehe…)

Misal,
Bro bangun kesiangan nih. Padahal sebentar lagi, udah masuk jam kantor. Apa yang Bro fikirkan waktu itu?
“Gawat aku  harus cepat-cepat nih!”
Kenapa Bro berfikir macam itu?
Ya, karena takut kesiangan lah, takut dimarahi bos, takut diturunkan gaji, takut dipensiundinikan, de el el.

Jadi, yang dicetak tebal di atas itu anak ketiga dari ketakutan.

Empat, bahwa kau begitu terfokus dengan dua kata ini, “Bagaimana jika?”

Nah, kalo yang ini penulis pasti nyerah, deh? Hahaha… (ngakak, sambil tengadah, dan tiba-tiba, ‘cleekk’ kotoran burung hinggap di mulut Bro, hehe)

Eh, superboy kayakku pantang menyerah (sambil menirukan wajah serius ala Steven Seagal). Contohnya, gini,

Bro mau ngelamar gadis yang Bro sukai nih. Jlig, Bro, sudah ada di rumah sang calon mertua. Sebelumnya Bro, sudah berlatih ribuan jurus untuk menghadapi calon mertua Bro. Namun, pada saat menyampaikan maksud Bro, ada saja pikiran yang meragukan impian Bro itu,
“Bagaimana jika ayahnya nggak setuju putrinya jadi istriku? Bagaimana jika aku ditolak? Bagaimana jika, bawaanku nggak menyenangkan calon mertua? Bagaimana jika penampilanku nggak disukai? Bagaimana jika… bagaimana jika… de el el…”

Apa yang membuat Bro, banyak mengingat dua kata itu saat Bro melamar pujaan hati?
Bro takut, takut dengan yang di andaikan. Iya, kan? Bro takut kalo nggak disetujui lamarannya, takut jika ditolak, takut jika nggak disukai, dst…

Pertanyaan, “Bagaimana jika” selalu berasal dari ketakutan akan masa depan. Nah, kesimpulannya ciri keempat ini pun anaknya “ketakutan”.

Lanjut lagi, kawan-kawan!

Pertanyaan ketiga,
Apa hubungan antara rasa-rasa ini (gelisah, marah, ragu, khawatir, bingung, dan segala macam rasa yang tak mengenakkan itu) dengan ketakutan?

Rasa-rasa itu seperti ikan-ikan yang hanya dapat hidup jika ada air ketakutan. Ceritanya kayak di jawaban pertanyaan kedua aja.

Pertanyaan keempat,
Bagaimana proses terjadinya rasa-rasa ini (gelisah, marah, ragu, khawatir, bingung, dan segala macam rasa yang tak mengenakkan itu)?

Mmm… kayak jadinya rasa kue aja. Bahan-bahannya ialah dari ketakutan dan kenyataan. Kemudian dicampurkan dalam adonan persepsimu, hingga kau tak mampu membedakan mana imajinasi yang ditimbulkan karena ketakutanmu dan mana yang benar-benar nyata. Selanjutnya kau biarkan saja begitu, dan memasukannya dalam oven  “sikapmu”. Tahap selanjutnya kau panaskan adonan itu dengan menuruti persepsi yang tak karuan itu. Hingga lama-lama menjadi mengerak dalam pola fikirmu. Setelah itu kau jahit, dan jadilah kue campur aduk yang rasanya tak karuan seperti tak karuannya pikiranmu karena sudah tak dapat membedakan antara yang benar-benar terjadi dengan yang ditakutkan terjadi.

Jika kau tambahkan dengan kebiasaan berfikir, “Bagaimana jika?”, maka jadilah kue rasa gelisah.
Jika kau tambahkan dengan berfikir, “Orang atau kejadian itu telah menghancurkan identitas dan harga dirimu”, maka jadilah kue rasa marah.
Jika kau tambahkan dengan berfikir, “Situasi dan kondisi hidupmu di luar kendalimu”, maka jadilah kue dengan rasa ragu.
Jika kau tambahkan dengan berfikir, “Tuhan tak cukup kuasa untuk menciptakan keamanan bagi dirimu dan orang-orang atau benda-benda yang kau cintai”, maka jadilah kue dengan rasa khawatir.
Jika kau tambahkan dengan berfikir, “Aku tak dikaruniai dengan perlengkapan yang cukup untuk menentukan langkah hidup”, maka jadilah kue dengan rasa bingung.
Dan lain-lain…

Simpulannya, jika kita mencampur adukkan ketakutan+kenyataan dengan beberapa pikiran tertentu, maka akan menghasilkan rasa-rasa ini (gelisah, marah, ragu, khawatir, bingung, dan segala macam rasa yang tak mengenakkan itu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar