Lanjut…
Pertanyaan kedua,
Kenapa kau menyamakan mereka (5 rasa+rasa yang tak
mengenakkan lainnya) seperti ikan-ikan di kolam “ketakutan”?
Kenapa ya? Ya, niru-niru penulis aja. Kayak ka Andah
misalnya. Tulisan-tulisannya sering menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang
menjadi inspirasi untuk mengenal maknanya dengan lebih luas. Hehe…
Begini, sifat ikan selalu hidup di air. Maka tak
dapatlah hidup si ikan itu tanpa ada air. Begitupun dengan 5 rasa itu (juga
rasa-rasa yang tak mengenakkan lainnya) selalu hidup dalam ketakutan. Maka tak
mungkinlah ada 5 rasa itu tanpa ketakutan.
Bisakah kau tunjukkan buktinya?
Walah, aku ko jadi ngerasa di pengadilan. Hehe… oke, Bro,
kita tengok lagi pendapatku soal 4 ciri yang membedakan 5 rasa itu dengan jenis
perasaan yang lain. Dan jika diamati, 4 ciri ini asal-usulnya dari
“ketakutan”. Gini, lho, ceritanya…
Satu, keyakinan bahwa hidupmu ditentukan oleh
situasi dan kondisi yang diluar kontrolmu
Yang dicetak tebal di atas itu salah satu anak dari
ketakutan lho. Eh, eh, bijimane prosesnya? Misalnya,
Bro, sedang naik motor di jalan setapak. Eh,
tiba-tiba remnya blong. Lalu, apa yang ada dalam pikiran Bro waktu itu?
“Gawat, kalo ada belokan tajam, Bro bisa terjun bebas ke jurang sana, dan
melayanglah nyawa Bro.” Artinya, Bro yakin kalo hidup Bro ditentukan oleh
situasi dan kondisi yang di luar kontrol Bro.
Kalo, aku mau tanya lagi, apa yang pertama kali Bro
rasakan sebelum berfikir macam itu? Bro, pasti takut, waktu tahu kalo remnya
blong, dan dari ketakutan itu muncullah pikiran “Gawat, kalo ada belokan tajam,
Bro bisa terjun bebas ke jurang sana, dan melayanglah nyawa Bro”. Jadi, yang
dicetak tebal di atas itu anaknye ketakutan.
Dua, keyakinan bahwa kau harus melakukan segala
sesuatunya dengan sempurna (semuanya harus sempurna)
Lha, kalo ini, apa keturunan si “ketakutan” juga?
Yoi,yoi, en gini contohnya,
Bro, disuruh ama si Bos, buat ngerjain tugas spesial.
Apa yang Bro pikirkan waktu itu?
“Aku harus menyelesaikan tugas ini dengan sempurna!”
Kenapa Bro berfikir macam itu?
Karena Bro takut ama si Bos, takut dipecat, takut tak
dinaikkan jabatan, takut dianggap bodoh, de el el. Asal-muasalnya ketakutan
juga, khan?
Tiga, keyakinan bahwa kau harus melakukan segala
sesuatu itu dengan secepat-cepatnya
Kalo, yang ini gimana coba ngejelasinnya. Apa masih
berasal dari ketakutan?
Oh, tentu, saja… (sambil bergaya Sule, hehe…)
Misal,
Bro bangun kesiangan nih. Padahal sebentar lagi, udah
masuk jam kantor. Apa yang Bro fikirkan waktu itu?
“Gawat aku
harus cepat-cepat nih!”
Kenapa Bro berfikir macam itu?
Ya, karena takut kesiangan lah, takut dimarahi bos,
takut diturunkan gaji, takut dipensiundinikan, de el el.
Jadi, yang dicetak tebal di atas itu anak ketiga dari
ketakutan.
Empat, bahwa kau begitu terfokus dengan dua kata
ini, “Bagaimana jika?”
Nah, kalo yang ini penulis pasti nyerah, deh? Hahaha…
(ngakak, sambil tengadah, dan tiba-tiba, ‘cleekk’ kotoran burung hinggap di
mulut Bro, hehe)
Eh, superboy kayakku pantang menyerah (sambil
menirukan wajah serius ala Steven Seagal). Contohnya, gini,
Bro mau ngelamar gadis yang Bro sukai nih. Jlig, Bro,
sudah ada di rumah sang calon mertua. Sebelumnya Bro, sudah berlatih ribuan
jurus untuk menghadapi calon mertua Bro. Namun, pada saat menyampaikan maksud
Bro, ada saja pikiran yang meragukan impian Bro itu,
“Bagaimana jika ayahnya nggak setuju putrinya jadi
istriku? Bagaimana jika aku ditolak? Bagaimana jika, bawaanku nggak
menyenangkan calon mertua? Bagaimana jika penampilanku nggak disukai? Bagaimana
jika… bagaimana jika… de el el…”
Apa yang membuat Bro, banyak mengingat dua kata itu
saat Bro melamar pujaan hati?
Bro takut, takut dengan yang di andaikan. Iya, kan?
Bro takut kalo nggak disetujui lamarannya, takut jika ditolak, takut jika nggak
disukai, dst…
Pertanyaan, “Bagaimana jika” selalu berasal dari ketakutan
akan masa depan. Nah, kesimpulannya ciri keempat ini pun anaknya “ketakutan”.
Lanjut lagi, kawan-kawan!
Pertanyaan ketiga,
Apa hubungan antara rasa-rasa ini (gelisah, marah,
ragu, khawatir, bingung, dan segala macam rasa yang tak mengenakkan itu) dengan
ketakutan?
Rasa-rasa itu seperti ikan-ikan yang hanya dapat
hidup jika ada air ketakutan. Ceritanya kayak di jawaban pertanyaan kedua aja.
Pertanyaan keempat,
Bagaimana proses terjadinya rasa-rasa ini
(gelisah, marah, ragu, khawatir, bingung, dan segala macam rasa yang tak
mengenakkan itu)?
Mmm… kayak jadinya rasa kue aja. Bahan-bahannya ialah
dari ketakutan dan kenyataan. Kemudian dicampurkan dalam adonan persepsimu,
hingga kau tak mampu membedakan mana imajinasi yang ditimbulkan karena
ketakutanmu dan mana yang benar-benar nyata. Selanjutnya kau biarkan saja
begitu, dan memasukannya dalam oven
“sikapmu”. Tahap selanjutnya kau panaskan adonan itu dengan menuruti
persepsi yang tak karuan itu. Hingga lama-lama menjadi mengerak dalam pola
fikirmu. Setelah itu kau jahit, dan jadilah kue campur aduk yang rasanya tak
karuan seperti tak karuannya pikiranmu karena sudah tak dapat membedakan antara
yang benar-benar terjadi dengan yang ditakutkan terjadi.
Jika kau tambahkan dengan kebiasaan berfikir,
“Bagaimana jika?”, maka jadilah kue rasa gelisah.
Jika kau tambahkan dengan berfikir, “Orang atau
kejadian itu telah menghancurkan identitas dan harga dirimu”, maka jadilah kue
rasa marah.
Jika kau tambahkan dengan berfikir, “Situasi dan
kondisi hidupmu di luar kendalimu”, maka jadilah kue dengan rasa ragu.
Jika kau tambahkan dengan berfikir, “Tuhan tak cukup
kuasa untuk menciptakan keamanan bagi dirimu dan orang-orang atau benda-benda
yang kau cintai”, maka jadilah kue dengan rasa khawatir.
Jika kau tambahkan dengan berfikir, “Aku tak
dikaruniai dengan perlengkapan yang cukup untuk menentukan langkah hidup”, maka
jadilah kue dengan rasa bingung.
Dan lain-lain…
Simpulannya, jika kita mencampur adukkan
ketakutan+kenyataan dengan beberapa pikiran tertentu, maka akan menghasilkan
rasa-rasa ini (gelisah, marah, ragu, khawatir, bingung, dan segala macam rasa
yang tak mengenakkan itu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar