"Kau diberi amanat bibit-bibit pohon
Untuk menghijaukan kehidupan yang gersang
Namun kau ternyata pembohong!
Melenyapkan harapan orang-orang!
Kau nodai bibit-bibit muda!
Dengan keakuan dan dusta!
Kau habisi firman dalam huda!
Dengan akhlak-akhlak nista!
Siapakah kau pak Guru?
Pemberani penghancur bibit baik?
Jenius yang beternak seteru?
Sungguh kau seorang halaik!"
Rabil mendeklamasikan sebuah puisi karangannya sendiri di acara reuni
sekolahnya. Hadirin terkejut dengan bait terakhir yang diucapkan Rabil.
Rabil melanjutkan aksinya, ia melemparkan mik yang digenggamnya ke arah
penonton. Dia ingin mengambil sesuatu dari tasnya, sehelai kertas yang
ternyata adalah ijazahnya sendiri. Ijazah yang baru saja ia dapatkan.
Kemudian dia mengambil korek api dari saku celananya. Hadirin masih
menunggu apa yang akan dia lakukan.
Rabil merebut mik yang ada di tangan pembawa acara. Dia memegang
ijazah di tangan kirinya, sedang mik dan korek api di tangan kanannya.
Dia mulai berpidato dengan lantang,
"Untuk inikah kita merenggut hati nurani kita?
Untuk inikah kita menambahkan noda dalam lembaran amal kita?
Untuk inikah kita menginjak-nginjak kitab suci yang diturunkan Tuhan?
Untuk inikah kita menjual kejujuran kita untuk beroleh titel munafik?
Saya disini akan membakar apa yang kalian agung-agungkan!
Membakar segala berhala yang menghalangi nilai-nilai kebenaran!
Membakar semua ide-ide yang menyesatkan!
Dan menggantikan hukum yang sesat dengan hukum kebenaran!
Walaupun nyawa yang akan menjadi tebusan!"
Rabil membakar ijazahnya sendiri! Ijazah yang menurut pandangan umum
sangat penting untuk melanjutkan karir akademisnya maupun beroleh rezeki
dalam zaman yang penuh persaingan. Hadirin tersentak kaget! Mereka tak
menyangka orang yang bercitra baik, pendiam, ramah dan pintar seperti
Rabil akan melakukan aksi nekat seperti itu.
"Apakah dia melakukannya karena kecewa terhadap pendidikan sekolah kita?", tanya salah seorang yang menghadiri reuni.
"Iya…", jawab seorang wanita di sisinya sambil menangis mengingat apa yang telah terjadi pada Rabil karena peristiwa itu.
Panitia tak tinggal diam, bersama dewan guru mereka berusaha menghentikkan aksi Rabil. Namun, Rabil mengamuk,
"Menyingkirlah kaum musyrik penyembah berhala! Hanya KTP kalian saja
yang beragama, tapi kelakuan kalian seperti babi hutan! Rakus, ambisius
dan penuh dengan najis! Menyingkirlah dariku!", teriak Rabil sambil
melepaskan pegangan tangan para panitia dan guru.
Seorang guru mengambil ember berisi air untuk memadamkan api yang
membakar ijazah Rabil. Namun, sudah terlambat, ijazah Rabil tinggal
sepotong lagi. Dan Rabil tak tinggal diam, dia menyobek-nyobek sisa
ijazahnya. Kemudian ia mendorong panitia yang berusaha menghentikan
aksinya. Dia ambil sebuah kertas lagi, itu adalah transkrip nilainya
selama di sekolah ini. Dia kemudian berteriak dengan lantang seraya
mengacungkan transkrip nilainya,
"Inilah nilaiku menurut para penyembah berhala bernama ambisi dan gengsi!
Ini semua adalah kebohongan!
Mereka kira aku akan takluk oleh tipu daya mereka berupa nilai-nilai tinggi!
Mereka kira aku akan bangga dengan angka-angka yang ditulis oleh orang-orang anti kebenaran ini!
Tidak! Keyakinanku tak kan dibeli dengan apapun!
Dan aku tak pernah dan tak akan pernah tunduk pada orang-orang munafik!"
Hadirin tertegun mendengarkan kata-kata yang tak pernah mereka
perkirakan akan terlontar dari orang yang dikenal berkepribadian baik
dan agamais seperti Rabil. Para wanita histeris, mereka menangis. Rabil
adalah anak populer di sekolahnya, dia terkenal dewasa dan sering
menjadi tempat curhat, utamanya bagi rekan siswinya. Dia seringkali
dipuji oleh teman-temannya maupun guru-gurunya karena kecerdasan dan
kebaikannya. Dia salah satu figur teladan di sekolahnya, namun kejadian
hari ini menimbulkan disonansi luar biasa dalam kognisi mereka.
"Dia anak baik, namun keburukan orang lain telah menjadikannya
kehilangan kontrol dan akhirnya menjadi anak buruk", ujar Omon,
petualang sekaligus novelis yang menyaksikan acara reuni dari halaman
sekolah.
"Tapi, bagaimanapun juga yang salah memang gurunya, Mon! Merekalah
yang membuat orang sebaik dia menjadi orang buruk! Guru-guru itu tak
melihat dampak baik di masa depan jika orang sebaik dia diberi
pendidikan yang sesuai aturan. Namun, guru-gurunya malah membuat kacau
mental anak ini, dengan melanggar aturan-aturan pendidikan yang harusnya
dijunjung tinggi! Akhirnya, si anak menyalahkan aturan yang sebenarnya
tak berhubungan dengan ketidakadilan yang ia dapati. Aturan kita justru
dibuat untuk rasa keadilan dan kesejahteraan sosial yang merata! Anak
ini menganggap aturan kita salah karena orang-orang yang mestinya
menegakkan aturan itu berbuat salah. Kita sudah banyak menyaksikkan
kisah seperti ini, bahwa untuk kembali dalam keadaan mental yang
konsonan anak-anak seperti ini pasti akan mengambil jalan pemberontakan
pada sistem dan bergabung dengan organisasi teroris adalah pilihan
terbanyak bagi mereka!", balas Emen, teman Omon yang juga seorang
penulis. Dia rajin mengamati gejala-gejala sosial dan perilaku manusia
khususnya anak-anak dan remaja.
"Hmm… memang negara kita penuh dengan ironi. Ironi yang telah banyak merenggut dan meracuni bibit-bibit muda kita…", keluh Omon.
"Ya! Pemerintah mestinya lebih banyak meluangkan waktunya, untuk
mengurusi moral aparatnya, agar tidak ada lagi kekecewaan dan keputus
asaan di benak anak muda untuk beroleh masa depan yang baik, benar dan
indah!", seru Emen.
Suasana reuni masih mencekam. Rabil melawan panitia dan guru-gurunya.
Namun, jumlah orang yang berusaha menghentikannya memang lebih banyak.
Seorang panitia mengambil kursi dan memukulkan ke punggung Ragil dengan
sangat keras.
Duukkk!
Rabil terjatuh, para panitia dan guru-guru segera menangkapnya.
Satpam dipanggil, tangan Rabil diborgol. Dia dibawa menuju ke kantor
guru untuk diinterogasi terkait perbuatannya hari ini. Omon dan Emen
menyaksikan kejadian yang sudah sering mereka lihat ini. Sebagian
hadirin meneriaki Rabil.
"Sok suci, lo! Rabil!", ujar mereka.
Perkataan itu memancing emosi Rabil. Dia mengamuk dengan kuat,
pegangan orang-orang terlepas. Rabil menuju ke arah orang-orang yang
mengejeknya.
"Ahli neraka, lo! Kafir, lo! Bidah, lo! Musyrik lo semua!", teriak Rabil sembari menendang kursi ke arah mereka.
Alumni wanita menangis melihat kejadian ini. Rabil adalah salah
seorang anak yang dikagumi seantero sekolahnya. Namun, entah apa yang
membuatnya menjadi ganas di hari ini. Ah, bukankah kebaikan tidak
berarti kelembekkan? Mungkin Rabil ingin menunjukkan kebaikan yang tak
bisa ditunjukkan selain dengan bertindak ganas.
Para panitia dan sekuriti segera mengejarnya dan menangkapnya
kembali. Lalu, mereka memboyong Rabil ke kantor guru. Mata Rabil masih
merah, kepalanya masih terasa panas. Beberapa panitia menyiapkan kursi,
sedang sebagian lagi bergerak mengantisipasi hal-hal yang diinginkan.
Orang-orang dikerahkan untuk melindungi acara interogasi di ruang guru.
"Rabil, Bapak sangat kecewa dengan kelakuanmu hari ini!", teriak sang kepala sekolah.
"Pak, Anda tak seharusnya bersikap seperti itu pada anak didik kita!", ujar wakasek kesiswaan.
"Kalau Ibu merasa lebih tahu dari saya, silakan kejadian ini saya
alihkan tanggung jawabnya pada Ibu!", ujar kepala sekolah sambil
meninggalkan ruangan guru.
"Rabil! Apa yang mengganggumu?", tanya guru BK.
"Saya tak akan bicara dengan orang yang lebih mengedepankan
nilai-nilai kemunafikan dibanding nilai-nilai kebenaran!", tegas Rabil
sembari mengingat peristiwa kecurangan UN di sekolahnya.
"Lepaskan borgolnya, mungkin dia merasa tertekan dengan itu!", ujar guru BK. Satpam segera melepaskan borgol dari tangan Rabil.
"Katakanlah! Kami tak kan menghukummu. Kami tahu, kami memang salah,
namun kesalahan kami tak harus membuat anak baik sepertimu menjadi
buruk, kan, Rabil?", tanya guru BK kembali.
"Haruskah saya mengikuti saran orang yang berbuat salah?", tanya
Rabil. Dia sepertinya menolak segala perkataan orang-orang yang
dianggapnya terlibat dalam ketidakadilan yang ia dapatkan.
"Iya, tapi kami juga tak selalu salah, kan?", tanya wakasek.
"Kalian semua mungkin memang tak selalu salah, namun terbiasa
melakukan kesalahan yang sama. Maka, haruskah saya mengikuti orang-orang
bodoh yang selalu jatuh pada lubang yang sama! Setiap tahun kalian
melakukan kesalahan yang sama!", jawab Rabil dengan tangkas.
"Baiklah… lalu apa yang harus kami lakukan?", tanya guru BK.
"Kalian harus meminta maaf pada orang-orang yang telah kalian
kecewakan! Kalian harus bertaubat pada Tuhan! Dan kalian harus mengubah
kesalahan kalian dengan kebaikan! Jika kalian tidak melakukan itu, aku
berjanji akan menghancurkan sekolah ini!", tegas Rabil.
***
Rabil dikenal sebagai pribadi yang sabar, pendiam, santun, ramah,
toleran, bijak dan hampir tidak bercela di hadapan teman-teman dan
gurunya. Seringkali dia aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan maupun
kegiatan sosial. Dia pernah menjadi salah satu ketua panitia pelaksana
kegiatan keagamaan di sekolahnya. Cukup banyak siswi-siswi yang menaruh
hati pada Rabil. Mereka tertarik akan kebijaksanaan ucapannya yang
seringkali menentramkan hati mereka yang labil. Di mata teman-temannya
Rabil tampak seperti tak punya masalah, dia terlihat tangguh dalam
menghadapi situasi hidup. Sangat jarang keluhan terdengar dari seorang
Rabil, justru Rabil banyak menjadi tempat untuk mengadu berbagai masalah
hidup teman-temannya. Dia adalah sandaran yang kokoh, bisa menjadi
seorang kakak, seorang sahabat maupun seorang guru yang menjadi contoh
bagi teman-temannya.
Namun, beberapa waktu belakangan sikap Rabil menjadi lebih tertutup
terhadap teman-temannya, dia menjadi lebih agresif, mudah menghakimi dan
terkesan ingin menangnya sendiri. Kejadian itu, bermula saat dia
mengenal sebuah organisasi remaja bernama JMBS (Jaringan Merasa Benar
Sendiri) yang merupakan salah satu anak dari JAPEMTOBA (Jaringan Pembela
Totaliterisme Berkedok Agama). JMBS memang tersebar di berbagai sekolah
di Negeri Neha, namun tak ada upaya dari pihak pemerintah maupun pihak
sekolah untuk menyelidiki aktivitas maupun tujuan dari organisasi ini.
Padahal organisasi ini sudah cukup lama ada dan setiap tahunnya
senantiasa berhasil merekrut generasi-generasi muda yang masih polos,
punya semangat untuk berjuang, membutuhkan pengakuan dan masih memiliki
harapan akan kedamaian.
"Aku heran, aku heran, yang salah dipertahankan
Aku heran, aku heran, yang benar disingkirkan!", ujar Rabil meniru lirik lagu almarhum Franky Sahilatua di kamar tidurnya.
"Aku heran kenapa kebenaran malah ditinggalkan?
Aku heran kenapa kebohongan malah ditinggikan?
Aku heran kenapa keadilan malah diabaikan?
Aku heran kenapa korupsi malah disuburkan?
Kenapa kalian melaknat orang yang ingin berbuat jujur, duhai orang berlabel guru?
Kenapa kalian memprovokasi untuk berbuat curang, guruku?
Kenapa kalian berani menjual kebenaran untuk gengsi dan ambisi?
Apakah gengsi dan ambisi dapat memberikan kebahagiaan bagimu?
Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Inikah orang-orang yang dianggap sebagai pahlawan?
Jika pahlawan sudah seperti ini,
Apalagi rakyatnya?
Ah, negara ini memang sudah kacau!
Benar apa yang dikatakan mentorku, kalau negara ini memakai sistem berhala!
Konsekuensinya, tak ada kebahagiaan di negeri ini!
Yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin, karena sistemnya salah total!
Sistem yang benar yang manakah yang masih melindungi perbuatan-perbuatan asusila?
Sistem yang benar yang manakah yang masih melindungi nilai-nilai kecurangan?
Sistem yang benar yang manakah yang masih menjunjung tinggi egoisme pribadi?
Sistem yang benar yang manakah yang masih mengabaikan kebenaran?
Aku harus buat perubahan!
Bersama JMBS, akan ku buat negeri yang bersistem pada sistem Tuhan!
Sistem kebenaran!
Aku yakin, Tuhan pasti meridai jalanku!", ujar Rabil kembali.
Rabil memang terkenal berotak tajam, ia pandai berkata-kata. Ia juga
memiliki bakat dan talenta. Intelektualitasnya di atas rata-rata. Sejak
kecil Rabil dididik dalam lingkungan yang baik namun dogmatis.
Kadangkala ia ingin menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan ajaran
agamanya. Namun, pertanyaan-pertanyaannya sangat jarang terjawab karena
dianggap sebagai pertanyaan-pertanyaan bidah yang haram untuk
ditanyakan. Saat Rabil tumbuh balig, dia merasa bahwa dia memiliki hak
untuk mendapatkan kebenaran dan pengetahuan yang benar-benar meyakinkan.
Dia mulai mengkritisi ketidak konsistenan orang tuanya dalam
menjalankan ajaran agamanya sendiri. Menurutnya, orang tuanya telah
melakukan kesalahan. Padahal orang tuanya dikenal rajin menghadiri
pengajian namun dalam kehidupan sehari-harinya, seringkali melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya.
Ayah Rabil seringkali berbicara dengan nada tinggi, sehingga bagi
Rabil yang memiliki kepekaan emosi menafsirkan sebagai sifat marah. Ayah
Rabil memang orang yang tergesa-gesa dalam membuat keputusan, maklum
dia hanya lulusan SD. Tapi, di sisi lain, sifat ini memberikan dampak
yang signifikan bagi citranya di hadapan Rabil. Dalam pandangan Rabil,
ayahnya adalah seorang yang mudah menuduh, cepat tersinggung, egois,
suka berprasangka buruk dan suka membentak. Dia tak pernah membicarakan
penilaiannya itu pada ayahnya, tapi memendamnya dalam hati. Dia takut
disebut anak durhaka.
Dalam pergaulan masyarakat, Rabil terkenal sebagai anak baik. Dia tak
pernah terlihat mengganggu orang lain. Dia juga cukup aktif dalam
kegiatan-kegiatan sosial terutama yang berhubungan dengan agama. Rabil
adalah seorang piatu, dia ditinggal wafat ibunya sejak kecil. Padahal,
hanya ibunyalah satu-satunya orang yang mau mendengarkan perasaannya,
tempatnya mengeluhkan segala rasa gundah yang ada dalam jiwa. Rabil
ingin sekali memiliki seorang sahabat yang dapat memahaminya secara
menyeluruh. Namun, sampai sekarang dia tak pernah mendapatkan orang yang
mau mendengarkannya bercerita. Mereka seringkali tak punya waktu untuk
diajak berbicara dari hati ke hati padahal mereka sering menuntut Rabil
untuk mendengarkan keluhan mereka. Rabil merasakan ini sebagai sebuah
ketidak adilan, namun begitu, dia mencoba untuk berusaha bersabar
sembari mendapatkan pengetahuan yang jelas tentang apa yang sebaiknya
dilakukan.
"Rabil! Makan dulu!", suara Ayahnya singkat dan lantang serta terkesan membentak.
"Ayahku, apakah nada bicaranya tak bisa diubah untuk menjadi lebih
rendah?", gumamnya. Dia takut untuk menyampaikannya secara langsung,
Rabil hanya bisa mendongkol saja setiap harinya.
Rabil segera turun, ia tahu bahwa perintah orang tua adalah kewajiban
untuk dilakukan. Dia segera menghampiri ayahnya di dapur rumah. Ayah
Rabil memasakkan telur ayam untuk lauknya pagi ini. Sebelum berangkat
sekolah, Rabil memang membiasakan diri untuk selalu sarapan pagi. Selain
untuk menunda lapar, dia juga tahu kalau sarapan pagi dapat
meningkatkan daya fokusnya. Setelah selesai, dia berangkat pergi ke
sekolah.
"Kali ini adalah jam pelajaran agama. Bapak harap kalian persiapkan
hafalan kalian, kita akan tes hari ini!", ujar guru PAI Rabil di
kelasnya.
"Pak, kenapa kita hanya menghafalkan kitab suci saja, kenapa kita tidak mengamalkannya?!", ujar Rabil lantang.
"Kita juga harus mengamalkannya, Bil! Jangan cuma menghafalnya!", jawab guru.
"Jika begitu, kenapa sekolah ini tidak mengamalkannya, Pak?", ujar Rabil bermaksud menyudutkan gurunya.
"Apa maksudmu? Sudah, kita tak usah membahas yang tidak penting!
Lebih baik kau hafalkan saja surat yang Bapak tulis di depan board!",
balas guru itu sambil melangkah ke luar kelas.
Pertanyaan-pertanyaan Rabil seringkali tak mendapat penghargaan,
kalau bukan disebut pertanyaan yang tak penting. Guru-guru di sekolahnya
enggan memberikan perhatian pada apa yang ada dalam pikiran anak
didiknya. Mereka tak mau memahami apa yang akan terjadi dari sebuah
pikiran. Mungkin mereka belum belajar teori kognisi, mengenai vitalnya
peran pikiran terhadap perilaku seseorang.
Rabil, merasa tak mendapatkan apa yang ia cari di sekolahnya. Dia
merasa percuma bersekolah jikalau ilmu yang diajarkan tak mampu menjawab
persoalan-persoalan hidup yang dialaminya. Alhasil, dia memilih untuk
mencari ilmu yang ia butuhkan di tempat lain. Kebetulan di sekolahnya
ada, JMBS. Sebuah organisasi luar sekolah namun kegiatannya dilaksanakan
di sekolah. Beberapa guru agama menjadi mentornya disertai
mahasiswa-mahasiswi yang satu aliran keyakinan dengan mereka. Pihak
sekolah tak mencurigai sedikitpun pada organisasi ini. Mereka
mengizinkan kegiatan organisasi ini, bagi mereka semakin banyak kegiatan
maka citra sekolahnya akan semakin baik. Selain itu JMBS dipenuhi
simbol-simbol agama, dan tentu saja tak ada masyarakat yang akan
meragukan agama. Semakin banyak simbol agama, maka masyarakat akan
berpandangan kalau sekolah ini baik dan layak sebagai tempat menitip
anak mereka.
***
"Pemerintahan kita adalah pemerintahan yang menyembah berhala! Mereka
semua kembali pada zaman kebodohan! Tidakkah kalian lihat? Kain saja
mereka agung-agungkan, pakai dihormat-hormat segala!", ujar seorang
mentor JMBS. Siswa-siswi yang mengikuti mentor terlihat tertawa kecil
menyetujui apa yang dikatakan sang mentor.
"Tapi, kitab suci ini! Kita suci yang diturunkan pada kita semua dari
Tuhan Yang Maha Benar dilecehkan! Mereka dengan beraninya mengganti
sistem Tuhan dengan sistem berhala yang mereka buat sendiri! Dasar
negara kita adalah berhala hasil ciptaan pikiran-pikiran manusia!",
sambungnya lagi.
"Lalu, apa yang mesti kita lakukan?", tanya seorang peserta mentoring.
"Kita harus ubah! Tengoklah salah satu ayat dalam surat ini!
Barangsiapa yang berhukum selain hukum Tuhan, maka dia adalah orang
ingkar, zalim dan fasik! Hukum Tuhan harus kita tegakkan di muka bumi
ini. Hanya itulah satu-satunya cara untuk selamat di dunia dan di
akhirat!", jawab sang mentor.
"Pak, saya pernah dengar dari salah satu tokoh agama di TV. Menurut
beliau dalam salah satu kitab tafsir yang masyhur, dikatakan kalau ayat
ini ditujukan untuk golongan Yahudi saja, bukan setiap manusia.
Bagaimana dengan ini?", tanya salah seorang peserta.
"Ya, asal-muasal turunnya memang begitu. Tapi, kitab suci ini kan
diturunkan untuk seluruh manusia, bukan hanya Yahudi saja. Maka maknanya
adalah umum, setiap orang yang berhukum selain hukum Tuhan maka dia
adalah orang ingkar, zalim dan fasik!", tegas sang mentor.
"Maaf, Pak, tapi kalau dilihat dari sintaksis bahasa asli kitab suci
ini, ingkar, zalim dan fasik ini kan bisa bersifat khusus dan bisa pula
bersifat umum, tergantung keadaan orangnya. Dan untuk menafsirkan suatu
ayat, kita juga mesti memperhatikan sebab turunnya, kan? Juga pendapat
sahabat dan ahli agama terdahulu, dan sejauh yang saya ketahui, diantara
mereka tak ada yang menafsirkan seperti yang Bapak tafsirkan", ujar
salah seorang peserta.
"Pemikiran Anda menyimpang dari agama! Anda ahli bidah dan Anda
menentang hukum Tuhan! Sekarang Anda adalah kafir, zalim dan fasik!
Mulai sekarang, keanggotaan Anda dicabut dari JMBS!", balas sang mentor
dengan lantang.
Anak tadi keheranan mendengarkan pernyataan mentornya. Dia berpikir
kalau dia hanya mencoba untuk berdiskusi dan memperbandingkan penafsiran
yang beragam dari yang ia ketahui dengan yang mentornya ketahui. Namun,
dia dengan mudah divonis sebagai penyimpang. Apakah para sahabat Nabi,
para ulama dan orang-orang shalih yang menjadi rujukan penafsirannya itu
pun ahli bidah? Namun, anak ini sudah terlanjur kecewa, dia langsung
keluar kelas diikuti seorang temannya yang simpatik padanya. Sementara
siswa-siswi lainnya masih mengikuti kelas mentoring JMBS.
"Maaf, Pak, apakah orang maksiat itu berhukum selain pada hukum Tuhan?", tanya seorang anak lagi yang masih mengikuti mentor.
"Pasti! Tuhan, kan tak menyuruh kita berbuat maksiat?!", balas sang mentor.
"Berarti tiap orang yang bermaksiat, jadi orang ingkar, zalim dan
fasik dong, sekalipun dia itu ahli agama seperti Bapak?", ujar anak itu
kembali.
Sang mentor terdiam, dia berusaha mencari cara untuk membenarkan perbuatannya tadi.
"Iya, Pak, tadi Bapak bentak-bentak teman kami dan berujar dengan
ucapan yang membuatnya sakit hati! Bukankah perbuatan membentak dan
membuat sakit hati itu perbuatan maksiat dalam pandangan agama? Tambah
lagi, Bapak berani menuduh teman kami sebagai orang bidah, ingkar, zalim
dan fasik, padahal menurut kami dia itu orang yang sangat rajin
beribadah, baik pergaulannya dan kuat hafalannya! Perkataan Bapak itu
bisa menjadi fitnah, dan fitnah itu perbuatan maksiat, kan? Karena Bapak
bermaksiat, maka Bapak berhukum selain pada hukum Tuhan, karena
berhukum selain pada hukum Tuhan, maka Bapak itu orang ingkar, fasik dan
zalim!", teriak anak yang lain sembari meninggalkan kelas. Beberapa
anak terlihat mengikutinya, sedang yang lainnya masih takut untuk
mengikuti teman-teman mereka. Mereka takut kalau-kalau nilainya
dikurangi karena menentang guru agama mereka. Demikianlah kejadian di
salah satu kelas tempat mentoring JMBS. Beberapa anak yang berani
mengkritisi dogmatisme ala JMBS akhirnya dikeluarkan atau memutuskan
dirinya sendiri untuk keluar.
Sedang Rabil berada di kelas lain. Dia dengan tertib mengikuti
kegiatan mentor, tanpa pertanyaan kritis yang biasa ia lontarkan pada
guru-guru sekolahnya. Kalaupun dia bertanya, dia hanya menanyakan
hal-hal yang menjadi kekecewaannya. Apakah dia benar untuk bersikap
kecewa terhadap ketidakadilan yang ia terima ataukah salah. Tentu para
mentor, menganggapnya benar. Mentor-mentor itu mulai berpikir kalau
Rabil adalah anak yang tepat untuk dijadikan kader mereka. Rabil
memiliki kekecewaan yang mendalam terhadap sistem formal. Dengan begitu,
dia akan dengan mudah ditaburi paham-paham yang berseberangan dengan
ajaran agama dengan metode pembohongan sejarah dan menanamkan doktrin
agar selalu berprasangka buruk terhadap pendapat yang berbeda dengan
mereka.
Setelah kelas mentoring selesai, seorang mentor yang juga salah satu guru agama Rabil mendekati,
"Bil, gimana keadaan kamu hari ini?", tanyanya.
"Baik, Pak! Hanya saja saya masih bingung terhadap ketidakkonsistenan
orang-orang di sekitar saya. Saya jadi merasa dikelilingi oleh
orang-orang munafik, Pak!", curhat Rabil.
"Memang begitulah orang-orang sekarang. Itulah kenapa Bapak katakan,
kalau kita kembali pada zaman kegelapan. Harapan-harapan kebaikan sirna,
kehidupan yang suci terhapus oleh hawa nafsu-hawa nafsu kaum yang
ingkar. Tahukah kamu, kalau kaum yang ingkar ini tengah mempersiapkan
diri untuk menghancurkan kita lambat laun. Mereka tak kan membiarkan
kita menetap pada agama kita…"
"Maksud Bapak, orang-orang ingkar itu sedang berencana membunuh kita?", potong Rabil.
"Ya! Jika tidak fisiknya, yang dibunuh adalah pemikirannya! Kita
dicekokki sejarah-sejarah palsu! Saudara-saudara kita di negeri jauh
dibantai! Dan orang-orang yang benar-benar beriman dibunuhi tanpa rasa
ampun, mereka tak dibiarkan untuk bicara di depan publik mengenai
kebenaran sejati!", ucap sang mentor mulai memprovokasi Rabil.
"Tapi, Pak, bukankah di dalam TV juga banyak ahli-ahli agama yang
diberi kesempatan sampai berjam-jam untuk berbicara tentang agama
kita?", tanya Rabil yang belum kehilangan daya kritisnya.
"Aaahhh! Mereka itu bukan ahli agama, mereka cuman budak dunia. Mana
ada ahli agama yang mau digaji program pamer aurat dari hasil iklan dan
sinetron? Pamer aurat itu, kan perbuatan maksiat!", jawab sang mentor
dengan nada meninggi.
Rabil terpesona dengan perkataan mentornya tersebut. Dia merasa
inilah orang yang pantas untuk diteladani dan diikuti. Ucapannya
menyiratkan kalau mentornya itu betul-betul bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan ajaran agama. Dia mulai yakin, kalau mentornya ini adalah
orang lurus yang konsisten antara perkataannya dan perbuatannya. Dia
berjanji akan terus mengikuti pengajaran JMBS dan menjadi salah satu
figur ternama di organisasi ini. Dia yakin, inilah satu-satunya wadah
tempat dia dapat menumpahkan segala kekecewaannya terhadap perlakuan
orang-orang di sekelilingnya. Perlakuan temannya, perlakuan ayahnya,
perlakuan guru-gurunya! Tempatnya mengemukakan ide-idenya. Ya, setiap
manusia memang butuh untuk diakui, termasuk Rabil.
***
Rabil pulang dari reuninya diiringi sindiran-sindiran dan senyuman
sinis dari teman-temannya. Hatinya semakin mendongkol pada mereka.
Bertambahlah kebencian yang mendalam terhadap mereka karena perlakuan
itu. Ada rasa ingin membalas perbuatan mereka. Bagi Rabil,
teman-temannya berbuat tidak adil padanya. Rabil merasa mereka tidak
mengakui perbuatan baik Rabil yang telah dia lakukan padanya. Mereka
malah menjauhi dan menghina saat Rabil membutuhkan seorang yang dapat
mencerahkannya.
Kring Kring Kring!
Handphone Rabil berbunyi, ternyata panggilan dari salah seorang mentornya,
"Salam, Rabil! Kamu udah lulus, kan? Bapak ingin bertemu kamu di masjid kita yang biasa!", ujar mentornya.
"Salam, Pak! Baik, Pak, saya akan segera kesana!"
Telepon ditutup. Mereka memang sudah terbiasa berbicara singkat di
telepon. Mereka seringkali menggunakan kode-kode tertentu. Hal ini
dimaksudkan agar percakapan mereka tidak dicurigai oleh intel
pemerintah. Entah apa yang membuat mereka takut oleh pemerintah? Apakah
mereka menjadikan pemerintah sebagai musuh? Rabil sudah berada di sebuah
masjid, mentor-mentor nya sudah hadir di serambi masjid.
"Hey, Bil! Tuhan memberkatimu! Ada hal penting yang harus kita
bicarakan!!", sapa salah seorang laki-laki berjaket hitam yang menjadi
salah seorang mentornya.
"Mengenai apa, Pak?", tanya Rabil.
"Begini, kau tahu kan kita ada di negara yang ingkar karena
pemerintah kita tidak menggunakan hukum Tuhan?", salah seorang mentornya
balik bertanya.
"Ya! Karena itulah kerusakan dan degradasi moral merajalela!", balas Rabil.
"Karena itu, pemerintah kita adalah kaum ingkar! Negara ini adalah
negara ingkar! Kita harus berpindah dari wilayah ini!", jawab lelaki
berjaket hitam.
"Pindah?"
"Ya, kita harus pindah dari wilayah ini untuk berlatih demi menjadi penghuni surga!", ujarnya.
"Penghuni surga?", tanya Rabil.
"Ya! Yakinlah Bil! Kita berada di jalan yang benar, apakah kita terus
hidup sampai negara impian kita terbentuk, ataukah kita mati dalam
perjuangan itu, kita pasti masuk surga! Bayangkan bidadari-bidadari yang
jernih matanya dan mulus kulitnya akan menyapamu disana! Pikirkanlah
segala keinginanmu akan ada disana!", balas seorang dari mereka.
Rabil terpesona kata-kata dari mentornya. Dia mulai membayangkan
keindahan-keindahan alam surga. Nampaknya surga itu cukup untuk
menghilangkan segala kekecewaan yang pernah ia alami. Dia telah bertekad
untuk menjunjung tinggi ajaran JMBS. Dan sebagai seorang yang
konsisten, dia akan melakukan apa yang telah ia katakan.
"Bil? Kamu mau kemana?", tanya ayahnya yang heran melihat Rabil membawa tas sore-sore padahal anaknya itu sudah lulus sekolah.
"Mau ke rumah teman, Pak? Mau numpang kerja", jawab Rabil berbohong.
Dia teringat ucapan mentornya bahwa dia harus menyembunyikan
identitasnya sebaik mungkin. Padahal bukankah Rabil membenci kebohongan?
Memang ada disonansi dalam dirinya, namun ia percaya kalau mentornya
adalah orang-orang yang ahli agama. Rabil meyakini itu adalah taktik
untuk mencapai kemenangan organisasinya. Rabil meyakini tujuan
organisasinya baik, karena itu jalan apapun untuk mencapainya adalah
baik.
Rabil lalu segera beranjak meninggalkan rumahnya, di dalam kantongnya
dia bawa beberapa pakaian ganti dan sejumlah uang. Dia mencuri uang
dari saku ayahnya, saat ayahnya di kamar mandi. Dia juga menjual
beberapa barang elektronik yang ia miliki untuk mengumpulkan dana yang
harus disetorkan pada JAPEMTOBA. Menurut mentornya, dana itu akan
digunakan untuk perang suci, membeli bom dan berbagai peralatan untuk
melakukan perlawanan pada pemerintah.
Di perjalanan, Rabil melihat sebuah motor dengan kunci yang masih
terpasang. Rabil tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia yakin kalau
pemilik motor itu tak pernah belajar apa yang ia pelajari di JMBS. Rabil
menyimpulkan kalau pemilik motor yang entah kemana itu pastilah orang
ingkar karena tunduk pada hukum-hukum selain Tuhan menurut pemahamannya.
Dia segera mencuri motor tersebut dan mengendarainya menuju tempat
pertemuan dengan mentornya.
Tibalah dia di suatu rumah yang telah dikatakan mentornya. Rumah itu
bersatu dengan sebuah warnet dan tempat fotokopi, cukup ramai. Rabil
jadi agak ragu, kalau ini merupakan tempat pertemuan untuk berhijrah.
Padahal sebelumnya, dia sering melakukan pertemuan di tempat yang sepi,
kalau bukan di masjid dan acara mentoring. Salah seorang rekan satu
sekolahnya terlihat menyapanya,
"Salam! Bil, kesini! Sudah pada kumpul lho, yuk!", teriaknya dari
salah satu pintu rumah. Rumah ini memang terbilang besar dan ternyata
warnet dan fotokopi yang menempel itu adalah milik yang punya rumah yang
juga merupakan aktivis JAPEMTOBA. Dia sekolah di Langma, sebuah negara
yang dalam beberapa dekade terakhir menerapkan sistem totaliterisme. Dia
mengatakan kalau usaha bisnis yang ditekuninya memiliki dua fungsi.
Pertama fungsi ekonomis untuk dirinya sendiri, kedua adalah fungsi untuk
mencegah kecurigaan aparat pemerintah terhadap aktivitas di dalamnya.
Rabil segera masuk. Didalamnya sudah ada beberapa orang yang seusia
dengannya, tiga orang diantaranya adalah temannya sendiri.
Mentor-mentornya sudah hadir disana. Rupanya Rabil yang terakhir mereka
tunggu. Mereka kemudian memulai pembicaraan. Para mentor mempersiapkan
kumpulan tulisan untuk melakukan dogma pada anak-anak ini agar mereka
tak memiliki keraguan lagi akan kegiatan yang akan dilakukan oleh
JAPEMTOBA.
"Kalian semua adalah orang-orang terpilih yang akan menegakkan
kebenaran di muka bumi ini! Saudara-saudaraku semua, orang-orang yang
ingkar tak kan pernah rela sebelum mereka membuat kita menjadi ingkar
seperti mereka atau memusnahkan kita dari muka bumi ini. Ujian pasti
akan datang dan itu merupakan cobaan bagi perjuangan kita. Kalian semua
telah meninggalkan keluarga kalian yang masih ingkar. Percayalah! Ini
perbuatan yang benar karena kita berpijak pada landasan yang benar,
hukum Tuhan!", seru seorang mentor. Dia ingin menunjukkan kalau
JAPEMTOBA mengakui eksistensi mereka di muka bumi ini sebagai seorang
yang terpuji, utama dan terpilih sehingga menimbulkan jiwa bangga diri.
Ketika sudah tumbuh rasa bangga diri, maka akan tumbuh kepercayaan diri.
Dan karena JAPEMTOBA lah yang memberikan energi bagi anak-anak ini
untuk senantiasa berbangga diri, maka mereka akan semakin terikat dengan
JAPEMTOBA.
"Setiap keraguan yang ada dalam diri kalian terhadap ajaran JAPEMTOBA
adalah hawa nafsu! Maka jangan biarkan hawa nafsu mengendalikan sikap
kalian!", ujar mentor lainnya membuat argumentasi sofisme. Namun,
diantara mereka masih ada yang bersikap kritis.
"Pak, saya tidak ingin dikendalikan hawa nafsu saya, namun saya
memiliki sebuah ganjalan di hati. Saya ingin ganjalan itu sirna dengan
ilmu Bapak!", ucap seorang anak kompromistis.
"Apa ganjalan di hatimu terkait organisasi kita? Bukankah kita berada
di jalan yang benar? Bahkan kita adalah satu-satunya yang benar di
dunia ini? Seluruh negara dan pemerintahan negara di dunia ini adalah
ingkar terhadap Tuhan? Hanya kitalah, orang-orang terpilih yang masih
suci dari racun-racun sekulerisme!", jawabnya.
"Begini, Pak, jikalau seluruh negara di dunia ini negara ingkar,
kemana kita akan berhijrah? Kemudian Bapak sendiri punya KTP, kan? Punya
SIM, punya sertifikat tanah dan rumah yang semuanya diatur oleh
pemerintah kita yang ingkar. Kita semua disini juga membayar pajak, yang
berarti sudah mengikuti hukum selain Tuhan. Tidakkah kita juga termasuk
orang-orang ingkar karena berhukum kepada selain hukum Tuhan itu?",
tanya anak lelaki tersebut.
"Itu adalah pertanyaan bidah! Tak seharusnya kamu berpikiran seperti
itu! JAPEMTOBA adalah organisasi yang benar! Kita telah menyaksikkan
sendiri kebobrokkan organisasi-organisasi lain yang mengatasnamakan
keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan sosial justru menjadi pelaku
korupsi? Mereka telah mencuri hak-hak kita dan membodohi kita? Tidakkah
kau saksikkan bahwa kitalah, yang ikut serta dalam perjuangan membela
saudara-saudara kita yang tertindas di luar negeri?!", ujar sang mentor
yang sudah terbiasa membidahkan segala perkataan yang dapat mengancam
keyakinannya itu.
"Baik, maaf, Pak!", ujar penanya itu.
Rabil terhenyak dengan pertanyaan temannya yang tak dapat dijawab
oleh mentornya itu. Dia merasa itu adalah pertanyaan yang sesuai realita
yang harusnya dapat dijawab oleh mentornya. Bukankah kebenaran itu
harusnya membuat realita lebih jelas, bukannya semakin kabur dibentengi
kata-kata bidah? Apa sebenarnya bidah itu? Rabil mulai termenung dan
mengkritisi kembali pilihannya terhadap organisasi ini.
"Benar apa yang ditanyakan anak itu. Jika seluruh negara di dunia ini
ingkar, kemana lagi harus berhijrah? Realistiskah ide hijrah itu di
masa kini? Akankah aku berhijrah dari tempat yang buruk ke tempat yang
buruk lagi karena semua wilayah sudah menerapkan hukum berhala?
Lagipula, sejak lahir sampai sekarang, dan bahkan sampai pertemuan
sekarang aku tak pernah keluar dari hukum pemerintah. Akta kelahiran,
KTP dan semua surat-surat kenegaraan lainnya aku miliki. Pajak negara
aku bayar. Di jalan tadi, aku mematuhi peraturan lalu lintas yang dibuat
oleh hukum yang menentang Tuhan. Setiap hari aku pakai uang yang dibuat
oleh pemerintah yang selama ini ku anggap berhala. Motor yang ku
gunakan, dibuat dengan teknologi yang didasarkan pada pemikiran manusia
yang pasti bukan hukum Tuhan. Bahkan baju yang sekarang ku pakai pun
dibuat dengan mesin jahit yang tercipta karena pemikiran manusia sama
seperti undang-undang ini. Apakah sebenarnya batasan hukum Tuhan dan
bukan hukum Tuhan? Apakah segala ide yang berasal dari manusia itu serta
merta bertentangan dengan hukum Tuhan?", ujar Rabil dalam pikirannya.
"Pak, Anda tadi mengatakan kalau organisasi-organisasi di luar kita,
katakanlah partai-partai yang pro parlemen itu adalah pelaku korupsi.
Korupsi itu berarti mencuri kan? Namun, Bapak juga membolehkan kami
untuk mencuri demi kepentingan JAPEMTOBA. Tidakkah kita sama dengan
parpol-parpol itu, sama-sama membolehkan pencurian untuk kepentingan
organisasi?", tanya seorang anak yang lain. Alisnya tebal menunjukkan
daya kritis yang tinggi.
"Pertanyaanmu dapat mengakibatkan kekafiran, maka haram untuk ditanyakan!", jawab sang mentor singkat.
Anak beralis tebal itu tak puas. Dia kemudian berdiri dalam halakah
tersebut. Dan mendeklamasikan dirinya keluar dari JAPEMTOBA.
Mentor-mentornya mengatakan, kalau dia telah menjadi seorang yang
ingkar, zalim dan fasik. Dan hidupnya akan terus diancam dan diteror
atas pilihannya.
"Kau sekarang halal untuk dibunuh!", ujar seorang mentor menunjuk anak lelaki beralis tebal.
Rabil yang mendengarkannya terhenyak. Dia berpikir betapa mudahnya,
mentor-mentornya untuk membunuh manusia. Apakah itu bukan perbuatan
maksiat? Apakah itu bukan perbuatan yang menentang hukum Tuhan? Rabil
mulai merasa bahwa ada ketidakkonsistenan dalam organisasi yang ia
agung-agungkan selama ini. Intelektualnya tersengat. Dia mulai
mengumpulkan memori-memorinya selama dia hidup di muka bumi ini. Sejak
kecil ia hidup dalam kasih sayang hingga ibunya meninggal. Ayahnya
memang bukan orang yang terlalu memperhatikannya, namun darinyalah ia
dapat menyuap nasi, mendapatkan uang jajan, disekolahkan, dibeli
pakaian, mainan dan banyak hal yang ia butuhkan dan inginkan.
Kalaupun ayahnya tak bisa membelikan apa yang ia inginkan, maka sang
ayah akan meminta maaf, tak pernah mengatakan kalau keinginannya itu
haram atau bidah seperti yang sering diucapkan oleh mentornya. Dia mulai
membayangkan jika untuk meminta kejelasan pola fikir saja yang tak
membutuhkan dana sudah dibatasi kata-kata bidah, haram apalagi sampai
menghalalkan darah sang penanya, maka bagaimana jika dia meminta
barang-barang yang harus dibeli dengan uang mereka? Benarkah
mentor-mentornya itu lebih menyayangi Rabil dibanding ayahnya Rabil?
Dapatkah mentor-mentor itu menghabiskan hasil keringatnya seharian untuk
membiayai Rabil?
"Ah, ternyata selama ini aku terlalu berfokus pada rasa
ketidakpuasanku! Aku melupakan jasa orang yang benar-benar
memperhatikanku untuk membela orang-orang yang baru ku kenal", ucapnya
dengan lisan.
Salah satu temannya yang mendengar perkataan Rabil menoleh padanya.
"Apa maksudmu, Bil?", tanya temannya.
"Aku telah memilih jalan yang seharusnya tak ku pilih! Aku telah
menjadi ingkar ketika aku mengingkari kebenaran yang datang dari orang
lain!", ucap Rabil sembari mengingat sikapnya ketika mendengarkan
ceramah yang bukan dari mentornya ia selalu tidak fokus, atau malah
keluar begitu saja tanpa merasa bersalah.
Selama ini Rabil telah terkena dogma JAPEMTOBA, kalau kebenaran hanya
milik JAPEMTOBA. JAPEMTOBA selalu mengatakan kalau manusia menjadikan
dirinya sebagai Tuhan dengan bersandar pada hukum selain Tuhan. Namun,
pada praktiknya, ternyata aktivis-aktivis JAPEMTOBA pun telah menjadikan
dirinya sebagai Tuhan dengan menganggap diri sebagai yang paling tahu,
paling benar, paling pantas untuk menghakimi, dan paling tinggi untuk
memberikan sebuah keputusan. Rabil mulai merasakan ketidakkonsistenan
mereka dengan perkataan mereka sendiri.
"Kalian juga munafik, dan telah membuatku menjadi seorang munafik!", ucap hati Rabil mengarahkan matanya pada mentor-mentornya.
Anak-anak yang lain berusaha merayu sang anak beralis tebal agar
mereka menarik ucapannya. Mereka tak ingin sesuatu buruk terjadi di
rumah ini. Salah seorang mentor sudah menginstruksikan untuk membunuh
anak itu. Namun, mentor lainnya berpendapat agar dia dilepaskan saja.
Mentor yang satu ini sebenarnya ingin membunuhnya juga, namun mengingat
situasi yang mudah untuk diketahui masyarakat, maka dia mengingatkan
pada kawan sesama mentornya itu agar menjaga keamanan diri dan
organisasi ini.
"Biarkan satu virus keluar, agar yang lainnya tak terkena virus!
Semoga dia mau bertobat di kemudian hari!", ujar salah satu mentor
sembari merencanakan tindakan teror terhadap anak beralis tebal ini.
"Pak, saya dan saya rasa orang-orang berotak disini sudah terkena
virus saudara saya ini!", ujar Rabil tiba-tiba. Dia sudah tak dapat
menahan disonansi mental yang ia derita selama mengikuti organisasi yang
berada dibawah naungan JAPEMTOBA. Dulunya dia mengira JAPEMTOBA dan
JMBS adalah organisasi yang bercita-cita luhur, meninggikan nilai-nilai
kemanusiaan. Namun, pada kenyataannya pola pemikirannya penuh dengan
kebencian, egoisme, ketidaktaatasasan, kontradiktif, dan suka menghujat.
Rabil juga mengingat-ingat semenjak masuk JMBS dia menjadi sering
mengeluarkan perkataan kotor, pernyataan yang tak diverifikasi dan
bahkan fitnah yang ia buat sendiri demi membenarkan pemahaman
organisasinya.
"Sebelum, saya masuk JMBS dan JAPEMTOBA. Saya begitu menghindari
informasi yang tak pasti, kendatipun informasi itu dapat menjadi
kekuatan bagi saya…", ujar Rabil.
Anak-anak lainnya ikut berdiri. Mereka mulai merasakan dan memikirkan
apa yang dikatakan Rabil. Sedang para mentor menampakkan wajah geram.
Rabil melanjutkan,
"Karena saya menjunjung tinggi ide-ide kejujuran! Namun, ketika saya
masuk JMBS, saya akan dengan mudah menghakimi orang lain dengan
informasi yang saya tambah-tambahi atau potong-potong demi kepentingan
pembenaran paham yang Anda-Anda ajarkan! Bahkan tadi pagi, saya berani
mencuri uang Ayah saya, saya berani menjual mainan dan laptop saya, saya
berani mencuri motor orang lain! Ternyata saya menjadi seorang
pembohong setelah masuk organisasi ini!", teriak Rabil.
Anak-anak lainnya terhenyak, memori-memori tentang sejarah hidup
selama di dunia ini bermunculan dalam benak mereka. Apa yang dikatakan
Rabil adalah sebuah kebenaran, yang seringkali dilupakan karena mereka
terlalu terfokus pada impian-impian yang ditawarkan mentor-mentor
JAPEMTOBA.
"Disini saya diajarkan untuk mengkafirkan Ayah saya, seorang beriman
yang telah bersusah payah membesarkan, merawat dan melindungi saya!
Disini saya diajarkan untuk menghujat pemerintah yang telah
memfasilitasi saya sehingga dapat berpikir seperti ini! Disini saya
diajarkan untuk melupakan kebaikan orang lain dan membalas mereka dengan
cercaan, cacian dan fitnah! Disini saya diajarkan untuk mempercayai
sejarah-sejarah dusta yang tak tahan uji kritik! Disini saya diajarkan
untuk membunuh sesama manusia dan menghancurkan tempat ibadah yang tak
seagama dengan saya karena mereka dianggap bertanggung jawab terhadap
penyiksaan saudara saya di negara lain yang dilakukan oleh orang lain
yang berbeda! Disini saya diajarkan untuk menerima doktrin-doktrin yang
takut dikritisi dan menolak pendapat-pendapat yang terbuka untuk
dikritisi! Disini saya diajarkan untuk merasa paling benar dan
menyalahkan orang lain yang tak sependapat dengan saya! Disini saya
diajarkan berbangga diri dengan hati yang keras dan pikiran yang picik!
Mulanya, saya berpikir Anda-Andalah yang pantas menjadi figur teladan
saya! Yang benar-benar memahami keinginan saya akan kejujuran, keadilan
dan kebahagiaan! Namun, ternyata Anda-Andalah yang membuat kegaduhan,
rasa egoisme dan kegundahan di hati saya! Anda membenarkan jalan yang
salah untuk mencapai tujuan Anda! Padahal kalaupun tujuan Anda itu
benar, maka haruslah melalui jalan yang benar! Tak ada kain bersih yang
dicuci dengan air yang kotor! Tak ada tujuan suci yang dapat dicapai
dengan jalan yang kotor!", ujar Rabil dengan lantang.
Anak-anak tercengang menyaksikan keberanian Rabil. Nyali lima mentor
yang ada disana menciut. Anak-anak yang mereka dogma agar menerima paham
mereka tanpa kritikan tajam , mulai mampu berpikir jernih. Anak-anak
ini, menyadari bahwa rasa diperlakukan tidak adil, rasa tidak diakui,
rasa putus asa akan masa depan yang serba baik, benar dan indah membuat
mereka menggantungkan harapan tanpa kritikan pada orang-orang yang baru
mereka kenal.
Akhirnya, mereka sendiri melakukan ketidakadilan terhadap diri mereka
sendiri, mereka pun tidak mengakui disonansi mental yang mereka rasakan
saat memaksakan diri untuk menerima doktrin JAPEMTOBA. Dan mereka
akhirnya semakin berputus asa terhadap masa depannya, dengan melalaikan
intelektual dan daya kritisnya sendiri untuk mengubah masa depan. Mereka
menggantungkan harapan mereka pada sebuah organisasi yang ternyata
menganggap dirinya sebagai Tuhan. Sungguh kontradiktif dengan slogan
mereka, kembali pada hukum Tuhan! Ternyata yang dimaksud hukum Tuhan
adalah ide-ide mereka sendiri!
"Ingat Rabil! Kita harus patuh pada hukum Tuhan, selain itu adalah
berhala, termasuk idemu sendiri!", teriak para mentor dengan keras.
Mereka nampaknya sudah kehilangan kesabaran. Teriakkan itu terdengar
sampai ke luar, warga-warga yang sedang browsing di warnet, dan sedang
memfotokopi mulai tertarik pada arah teriakkan itu.
"Kalau begitu, maka Anda menganggap Anda sendiri telah menjadi budak
berhala! Bukankah Anda mengikuti ide-ide para filsuf tentang bagaimana
cara membangun rumah yang baik? Jika tak ada Euclid, mungkin Anda hanya
akan tinggal di gua sampai sekarang! Bukankah Anda patuh untuk berhukum
pada ide-ide para ilmuwan ketika Anda menggunakan komputer dan
mengoperasikannya? Bukankah baju yang Anda pakai juga diproduksi lewat
hasil pikiran manusia? Bukankah motor yang Anda gunakan itu dibuat
melalui hukum-hukum ilmiah yang Anda anggap bertentangan dengan hukum
Tuhan? Bukankah setiap hari Anda mematuhi rambu-rambu lalu-lintas yang
didasarkan pada peraturan pemerintah yang Anda katakan sebagai berhala?
Sekarang tunjukkan padaku, ayat yang secara rinci yang menunjukkan cara
mengoperasikan komputer! Tunjukkan padaku bagaimana cara membuat motor,
mobil dan pesawat terbang secara rinci berdasarkan kitab suci Anda!",
balas Rabil.
Para mentor itu terdiam. Anak-anak yang berada disana mulai ikut berkomentar. Mereka mulai terbuka pikirannya.
"Kau menyepelekan pengetahuan Tuhan, Bil! Padahal kami kira kamu
adalah seorang yang beriman dengan sempurna!", ujar salah satu mentor.
"Berarti Anda tahu, kan pengetahuan Tuhan itu? Sekarang gunakanlah
pengetahuan Tuhan Anda untuk menjawab pertanyaan saya dengan jawaban
yang rinci dan meyakinkan!", tantang Rabil.
"Kau tahu, ilmuwan-ilmuwan dari kalangan agama kita banyak menyusun
ilmu pengetahuan, kan? Itu menunjukkan kalau ajaran agama kita benar!",
jawab salah satu mentor.
"Ya, saya memang yakin ajaran agama saya benar. Dan syukurlah
Bapak-Bapak juga memahami kalau ada ilmuwan yang juga ahli agama, itu
menunjukkan kalau ilmu pengetahuan bukan hukum berhala! Peraturan negara
ini disusun berdasar ilmu pengetahuan jadi peraturan negara ini bukan
hukum berhala! Karena ternyata ahli agama pun menggunakan hukum-hukum
ilmu pengetahuan! Saya hanya meragukan pemahaman Anda-Anda tentang
agama! Saya ingin bertanya, apa batasan antara hukum Tuhan dengan selain
hukum Tuhan? Jika apa-apa yang datang dari makhluk tidak termasuk hukum
Tuhan maka pastilah kita semua telah ingkar terhadap hukum Tuhan!
Karena setiap saat kita selalu berhubungan dengan hasil budaya
manusia!", tegas Rabil.
Para mentor mulai termenung. Kata-kata Rabil begitu tajam mendarat
dalam jiwa mereka, memotong egoisme yang mereka pertahankan sejak
didoktrin JAPEMTOBA.
"Lalu, apa menurutmu, batasan antara hukum Tuhan dan hukum selain
Tuhan?", tanya para mentor serentak ingin mengetahui pendapat seorang
remaja yang tadinya ingin mereka arahkan untuk menjadi pelaku bom bunuh
diri ini.
"Segala penafsiran yang melalui akal yang jernih dari prasangka dan
intuisi yang suci dari segala sifat tercela! Bisa jadi apa yang datang
dari 'yang Anda sebut sebagai hukum berhala itu adalah hukum Tuhan'
walaupun tidak menyertakan secara tekstual ayat dalam kitab suci Anda
yang baru turun beratus-ratus abad setelah Nabi Adam as ke bumi! Bisa
jadi esensinya sama dengan maksud sebenarnya dari kitab suci Anda, namun
kepicikan pikiran Anda menganggapnya bertentangan! Dengan memahami
hukum Tuhan seperti ini, maka realita yang memang sudah terbukti benar
menjadi sesuai dengan hukum Tuhan! Lagipula, secara literatur hukum
Tuhan berarti takdir Tuhan, bukan hanya masalah penafsiran terhadap
wahyu versi subjektif Anda saja. Karena jika Tuhan Maha Kuasa tentulah
tak ada seorang pun yang berkuasa untuk menandingi hukum-hukumNya!
Itulah pendapat saya sekarang, dan saya akan terus belajar selama saya
hidup!", ucap Rabil optimis.
Hadirin termenung mempertimbangkan perkataan salah seorang diantara
mereka itu. Sedang Rabil mulai terlihat cerah, dia sudah yakin akan
meninggalkan organisasi ini. Dia juga berniat meminta maaf dan
mengembalikan motor curiannya. Dia akan meminta maaf pada ayahnya karena
telah berbohong padanya. Dia merasa tenang melalui ilmu yang baru ia
dapatkan saat ia berucap dari pengakuan yang dalam terhadap perasaannya
yang sebenarnya itu.
Sementara polisi-polisi tiba-tiba menyerbu rumah pertemuan didampingi
warga sekitar. Rupanya mereka telah menyaksikan perbincangan Rabil dan
anggota yang lain semenjak teriakkan itu. Seluruh peserta halakah,
termasuk Rabil segera diamankan, namun Rabil bersama anak-anak yang lain
terlihat tersenyum mekar. Mereka tahu, jalan yang telah mereka pilih
adalah salah, buruk dan jelek bagi makhluk. Padahal tanpa melalui
makhluk, bagaimana makhluk mengenal Tuhan?
Anak-anak remaja beserta lima mentor itu digiring ke kantor polisi.
Mereka kemudian dimintai keterangan. Lima mentor yang sudah
teridentifikasi sebagai teroris JAPEMTOBA tersebut diamankan di sel-sel
besi. Sementara para remaja diberikan bimbingan oleh ulama setempat,
sebelum diberikan kembali pada orang tuanya masing-masing.
Dari keterangan lima mentor ini, nyatalah kalau JAPEMTOBA dibiayai
oleh negara kaya bernama Langma. Negara tetangganya sendiri, kabar ini
segera meluas melalui media. Hubungan Ratu Eurli dan Raja Kamur mulai
renggang. Kenapa Raja Kamur menyusupkan ideologi-ideologi di tengah
masyarakat Neha yang dapat merusak ketahanan negara Neha? Apakah dia
ingin merusak mental rakyat Neha? Apakah titel sebagai negara adidaya
tak cukup membuatnya puas? Ataukah karena dia ingin menjadi penguasa
dunia? Ah, politik memang bikin pusing!
Suatu ketika, Rabil tampil di TV dalam sebuah acara talkshow mengenai
"Terorisme dan Remaja". Berdasarkan keterangan-keterangan dari rekannya
di JMBS dan JAPEMTOBA, dia adalah salah satu orang yang masih berani
bicara lantang dan kritis bersama dua anak lainnya di pertemuan itu.
"Apa yang membuat kamu tertarik masuk organisasi yang sekarang
diketahui sebagai jaringan teroris ini?", tanya salah seorang pembawa
acara.
"Banyaklah, Pak! Impian-impian dan janji-janji yang mereka tawarkan,
kesediaan mereka untuk mendengarkan keluhan, ketidakadilan yang saya
rasakan terhadap situasi hidup saya, ketidakpuasan melihat fenomena
kemiskinan dan kejahatan yang kian meninggi, termasuk juga merasa
diabaikan oleh orang-orang sekitar saya dan terakhir karena saya banyak
kecewa terhadap tokoh-tokoh masyarakat dan agama yang saya anggap waktu
itu tidak konsisten", jawab Rabil.
"Lalu, apa yang membuatmu yakin untuk meninggalkan JAPEMTOBA ini,
padahal kan kamu mendapat ancaman teror bahkan ancaman pembunuhan?',
tanya presenter yang sama.
"Keburukan sesuatu tak perlu menjadikan saya buruk. Saya yakin kalau
situasi hidup yang saya alami maupun yang saya lihat tak perlu
menjadikanku orang yang tergesa-gesa untuk mengambil sikap radikal dan
totaliter. Saya yakin situasi hidup tiap orang spesial, menunjukkan
kalau masing-masing orang dispesialkan oleh Tuhan. Saya hanya perlu
membalas kado spesial ini melalui penerimaan, perenungan, dan
penghayatan tanpa dibumbui rasa-rasa tercela. Saya menyadari bahwa ada
yang saya tahu dan ada yang saya tidak tahu. Karena itu, saya tidak
ingin sok tahu seperti orang-orang JAPEMTOBA yang ternyata banyak tidak
tahunya!", ujar Rabil filsafatis diikuti tawa kecil dan tepukan tangan
hadirin.
Seorang teroris yang melakukan aksi bom bunuh diri sampai ke alam kubur. Disana dia ditanya malaikat,
"Kenapa kau membunuh dirimu sendiri, padahal jika tidak, jatah usiamu masih panjang?"
"Karena aku sudah tak sabar untuk bertemu Tuhan!", jawab sang Teroris.
"Bukankah Tuhan telah memerintahkan kepadamu agar bersikap sabar?", tanya sang malaikat.
Teroris itu menyadari kekeliruannya, karena ketidaksabarannya
bertemu Tuhan dia malah melanggar perintah Tuhan. Teroris itu pun
menangis sejadi-jadinya.
-Lita fm-