Minggu, 23 September 2012

Batasan Akal



Dua orang anak yang masih SD bertengkar. Masing-masing saling menegangkan leher, tak ada yang mau mengalah. Akhirnya, mereka melapor pada gurunya.

"Pak Asep! Akal itu selalu benar, kan?", tanya anak yang satu. Rupanya mereka bertengkar mengenai sumber pengetahuan.

"Nggak, kan, Pak! Akal itu tak selalu benar, jadi akal itu tak layak dijadikan sandaran untuk mengukur kebenaran!", seru anak yang kedua. Pak Asep, seorang guru honorer lulusan salah satu SMK ini tersenyum mendengarkan pertanyaan polos yang cukup kritis dari mereka.

"Dua-duanya benar", ujar tenaga sukarelawan ini, yang juga merupakan mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung.

"Haaa! Kok bisa gitu, Pak?!", ujar keduanya bersamaan.

"Akal itu selalu benar, sepanjang yang disebut benar berada dalam himpunan makna akal. Dan akal tak selalu benar, selama apa yang dimaksud benar melebihi batas dari apa yang dimaksud akal", ujar Pak Asep filsafatis. Kedua muridnya itu mengerutkan dahinya pertanda belum mengerti. Memang, bahasa sukwan itu tidak tepat untuk manusia yang masih SD, berbeda dengan kebanyakan pembaca, tentulah sudah ada yang memahaminya.

"Oh, iya, Bapak malah menggunakan bahasa kuliah, ya? Hehe… maklum, pertanyaan kalian kayak teman Bapak di FISIP, hehe…", sambung Pak Asep. Kedua anak tadi mengangguk dengan polosnya.

"Okay, gini, Bapak mau tanya sama yang mengatakan kalau akal itu tak layak dijadikan sandaran untuk mengukur kebenaran. Menurut akal Bapak, kamu tak kan mampu menahan untuk tidak berkedip selama sepuluh menit. Ayo, kita uji sekarang, apakah akal Bapak layak atau tidak untuk mengukur kebenaran?", kata pengajar muda ini.

Anak kedua, yang merasa mengatakan akal tak layak untuk mengukur kebenaran terlihat merenung. Beberapa kali, dia mencoba untuk melakukan tantangan pembimbingnya yang juga merupakan pembina organisasi Karya Ilmiah Remaja ini. Namun, hanya beberapa detik saja dia sudah berkedip. Dia akhirnya menyerah.

"Horeee! Akal itu selalu benar, kan?! Ye…yeyeye…ye!", ujar anak kesatu merasa menang.

"Tunggu dulu!", ujar Pak Asep yang juga merupakan seorang penulis generalis ini.

"Bapak juga mau bertanya pada yang mengatakan kalau akal itu selalu benar. Coba menurut akalmu, siapa jodoh Bapak?", tanya anak muda ini.

"Mmm… Teh Asmirandah Zantman, kan?", tanya anak kesatu balik bertanya.

"Bukan, Kak Andah kan sudah punya pacar yang lain", jawab Pak Asep keGeeran.

"Berarti, Teh Alisa Soebandono, kan?", kembali anak kesatu itu meminta konfirmasi.

"Bukan, mana kenal Alisa sama Bapak? Dan tidak mungkin juga Bapak ketemu sama dia", jawab salah satu pendiri KIYAKO ini.

"Kalau gitu, Kak Gita Gutawa, iya kan?", anak kesatu tersebut kembali bertanya.

"Maunya sih gitu dan sebenarnya kami sudah saling bersikukuh. Bapak sudah bersikukuh kalau Bapak suka sama Gita, tapi Gita juga bersikukuh nggak suka sama Bapak, hehehe…", ucap mahasiswa rumpun ilmu politik ini.

"Nyerah, deh!", jawab anak kesatu itu sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Nah, akal kamu tak bisa mengetahui kebenaran soal jodoh Bapak. Karena akal kamu, akal Bapak, dan akal semua manusia itu dibatasi pengalaman, tidak dapat mengetahui kebenaran di masa depan. Manusia di zaman Nabi Ibrohim as. mungkin akan menyalahkan kita, kalau kita katakan pada mereka bahwa 'orang Palestina bisa melihat negara Cina dari Palestina', karena di zaman itu tak ada teve. Tapi, manusia di zaman sekarang, tahu kalau pernyataan itu benar, 'orang Palestina bisa melihat negara Cina dari Palestina' melalui televisi. Singkatnya, yang disebut salah menurut akal masa lampau bisa jadi benar menurut akal sekarang, dan yang benar menurut akal sekarang pun bisa jadi salah menurut akal di masa depan", papar Pak Asep panjang lebar. Kedua anak itu mengangguk, mereka memahami kalau mereka bisa benar dan bisa salah tergantung sudut pandang yang dipakai untuk mengukurnya.

"Terus, kesimpulannya apa dong Pak?", tanya dua anak itu serempak.

"Kesimpulannya, akal kita dibatasi pengalaman, namun juga masih layak untuk dijadikan sandaran mengukur kebenaran. Hanya saja, kebenaran yang berasal dari akal selayaknya dipahami sebagai kebenaran yang dibatasi pengalaman, bukan sebagai kebenaran universal yang absolut dan menjadi hukum untuk segala hal, kira-kira begitu… hehe…", ujar aikidoka penggemar Steven Seagal ini.

Jumat, 21 September 2012

Andai Aku Seorang Teroris



"Kau diberi amanat bibit-bibit pohon
Untuk menghijaukan kehidupan yang gersang
Namun kau ternyata pembohong!
Melenyapkan harapan orang-orang!

Kau nodai bibit-bibit muda!
Dengan keakuan dan dusta!
Kau habisi firman dalam huda!
Dengan akhlak-akhlak nista!

Siapakah kau pak Guru?
Pemberani penghancur bibit baik?
Jenius yang beternak seteru?
Sungguh kau seorang halaik!"

Rabil mendeklamasikan sebuah puisi karangannya sendiri di acara reuni sekolahnya. Hadirin terkejut dengan bait terakhir yang diucapkan Rabil. Rabil melanjutkan aksinya, ia melemparkan mik yang digenggamnya ke arah penonton. Dia ingin mengambil sesuatu dari tasnya, sehelai kertas yang ternyata adalah ijazahnya sendiri. Ijazah yang baru saja ia dapatkan. Kemudian dia mengambil korek api dari saku celananya. Hadirin masih menunggu apa yang akan dia lakukan.

Rabil merebut mik yang ada di tangan pembawa acara. Dia memegang ijazah di tangan kirinya, sedang mik dan korek api di tangan kanannya. Dia mulai berpidato dengan lantang,

"Untuk inikah kita merenggut hati nurani kita?
Untuk inikah kita menambahkan noda dalam lembaran amal kita?
Untuk inikah kita menginjak-nginjak kitab suci yang diturunkan Tuhan?
Untuk inikah kita menjual kejujuran kita untuk beroleh titel munafik?

Saya disini akan membakar apa yang kalian agung-agungkan!
Membakar segala berhala yang menghalangi nilai-nilai kebenaran!
Membakar semua ide-ide yang menyesatkan!
Dan menggantikan hukum yang sesat dengan hukum kebenaran!
Walaupun nyawa yang akan menjadi tebusan!"

Rabil membakar ijazahnya sendiri! Ijazah yang menurut pandangan umum sangat penting untuk melanjutkan karir akademisnya maupun beroleh rezeki dalam zaman yang penuh persaingan. Hadirin tersentak kaget! Mereka tak menyangka orang yang bercitra baik, pendiam, ramah dan pintar seperti Rabil akan melakukan aksi nekat seperti itu.

"Apakah dia melakukannya karena kecewa terhadap pendidikan sekolah kita?", tanya salah seorang yang menghadiri reuni.

"Iya…", jawab seorang wanita di sisinya sambil menangis mengingat apa yang telah terjadi pada Rabil karena peristiwa itu.

Panitia tak tinggal diam, bersama dewan guru mereka berusaha menghentikkan aksi Rabil. Namun, Rabil mengamuk,

"Menyingkirlah kaum musyrik penyembah berhala! Hanya KTP kalian saja yang beragama, tapi kelakuan kalian seperti babi hutan! Rakus, ambisius dan penuh dengan najis! Menyingkirlah dariku!", teriak Rabil sambil melepaskan pegangan tangan para panitia dan guru.

Seorang guru mengambil ember berisi air untuk memadamkan api yang membakar ijazah Rabil. Namun, sudah terlambat, ijazah Rabil tinggal sepotong lagi. Dan Rabil tak tinggal diam, dia menyobek-nyobek sisa ijazahnya. Kemudian ia mendorong panitia yang berusaha menghentikan aksinya. Dia ambil sebuah kertas lagi, itu adalah transkrip nilainya selama di sekolah ini. Dia kemudian berteriak dengan lantang seraya mengacungkan transkrip nilainya,

"Inilah nilaiku menurut para penyembah berhala bernama ambisi dan gengsi!
Ini semua adalah kebohongan!
Mereka kira aku akan takluk oleh tipu daya mereka berupa nilai-nilai tinggi!
Mereka kira aku akan bangga dengan angka-angka yang ditulis oleh orang-orang anti kebenaran ini!
Tidak! Keyakinanku tak kan dibeli dengan apapun!
Dan aku tak pernah dan tak akan pernah tunduk pada orang-orang munafik!"

Hadirin tertegun mendengarkan kata-kata yang tak pernah mereka perkirakan akan terlontar dari orang yang dikenal berkepribadian baik dan agamais seperti Rabil. Para wanita histeris, mereka menangis. Rabil adalah anak populer di sekolahnya, dia terkenal dewasa dan sering menjadi tempat curhat, utamanya bagi rekan siswinya. Dia seringkali dipuji oleh teman-temannya maupun guru-gurunya karena kecerdasan dan kebaikannya. Dia salah satu figur teladan di sekolahnya, namun kejadian hari ini menimbulkan disonansi luar biasa dalam kognisi mereka.

"Dia anak baik, namun keburukan orang lain telah menjadikannya kehilangan kontrol dan akhirnya menjadi anak buruk", ujar Omon, petualang sekaligus novelis yang menyaksikan acara reuni dari halaman sekolah.

"Tapi, bagaimanapun juga yang salah memang gurunya, Mon! Merekalah yang membuat orang sebaik dia menjadi orang buruk! Guru-guru itu tak melihat dampak baik di masa depan jika orang sebaik dia diberi pendidikan yang sesuai aturan. Namun, guru-gurunya malah membuat kacau mental anak ini, dengan melanggar aturan-aturan pendidikan yang harusnya dijunjung tinggi! Akhirnya, si anak menyalahkan aturan yang sebenarnya tak berhubungan dengan ketidakadilan yang ia dapati. Aturan kita justru dibuat untuk rasa keadilan dan kesejahteraan sosial yang merata! Anak ini menganggap aturan kita salah karena orang-orang yang mestinya menegakkan aturan itu berbuat salah. Kita sudah banyak menyaksikkan kisah seperti ini, bahwa untuk kembali dalam keadaan mental yang konsonan anak-anak seperti ini pasti akan mengambil jalan pemberontakan pada sistem dan bergabung dengan organisasi teroris adalah pilihan terbanyak bagi mereka!", balas Emen, teman Omon yang juga seorang penulis. Dia rajin mengamati gejala-gejala sosial dan perilaku manusia khususnya anak-anak dan remaja.

"Hmm… memang negara kita penuh dengan ironi. Ironi yang telah banyak merenggut dan meracuni bibit-bibit muda kita…", keluh Omon.

"Ya! Pemerintah mestinya lebih banyak meluangkan waktunya, untuk mengurusi moral aparatnya, agar tidak ada lagi kekecewaan dan keputus asaan di benak anak muda untuk beroleh masa depan yang baik, benar dan indah!", seru Emen.

Suasana reuni masih mencekam. Rabil melawan panitia dan guru-gurunya. Namun, jumlah orang yang berusaha menghentikannya memang lebih banyak. Seorang panitia mengambil kursi dan memukulkan ke punggung Ragil dengan sangat keras.

Duukkk!

Rabil terjatuh, para panitia dan guru-guru segera menangkapnya. Satpam dipanggil, tangan Rabil diborgol. Dia dibawa menuju ke kantor guru untuk diinterogasi terkait perbuatannya hari ini. Omon dan Emen menyaksikan kejadian yang sudah sering mereka lihat ini. Sebagian hadirin meneriaki Rabil.

"Sok suci, lo! Rabil!", ujar mereka.

Perkataan itu memancing emosi Rabil. Dia mengamuk dengan kuat, pegangan orang-orang terlepas. Rabil menuju ke arah orang-orang yang mengejeknya.

"Ahli neraka, lo! Kafir, lo! Bidah, lo! Musyrik lo semua!", teriak Rabil sembari menendang kursi ke arah mereka.

Alumni wanita menangis melihat kejadian ini. Rabil adalah salah seorang anak yang dikagumi seantero sekolahnya. Namun, entah apa yang membuatnya menjadi ganas di hari ini. Ah, bukankah kebaikan tidak berarti kelembekkan? Mungkin Rabil ingin menunjukkan kebaikan yang tak bisa ditunjukkan selain dengan bertindak ganas.

Para panitia dan sekuriti segera mengejarnya dan menangkapnya kembali. Lalu, mereka memboyong Rabil ke kantor guru. Mata Rabil masih merah, kepalanya masih terasa panas. Beberapa panitia menyiapkan kursi, sedang sebagian lagi bergerak mengantisipasi hal-hal yang diinginkan. Orang-orang dikerahkan untuk melindungi acara interogasi di ruang guru.

"Rabil, Bapak sangat kecewa dengan kelakuanmu hari ini!", teriak sang kepala sekolah.

"Pak, Anda tak seharusnya bersikap seperti itu pada anak didik kita!", ujar wakasek kesiswaan.

"Kalau Ibu merasa lebih tahu dari saya, silakan kejadian ini saya alihkan tanggung jawabnya pada Ibu!", ujar kepala sekolah sambil meninggalkan ruangan guru.

"Rabil! Apa yang mengganggumu?", tanya guru BK.

"Saya tak akan bicara dengan orang yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemunafikan dibanding nilai-nilai kebenaran!", tegas Rabil sembari mengingat peristiwa kecurangan UN di sekolahnya.

"Lepaskan borgolnya, mungkin dia merasa tertekan dengan itu!", ujar guru BK. Satpam segera melepaskan borgol dari tangan Rabil.

"Katakanlah! Kami tak kan menghukummu. Kami tahu, kami memang salah, namun kesalahan kami tak harus membuat anak baik sepertimu menjadi buruk, kan, Rabil?", tanya guru BK kembali.

"Haruskah saya mengikuti saran orang yang berbuat salah?", tanya Rabil. Dia sepertinya menolak segala perkataan orang-orang yang dianggapnya terlibat dalam ketidakadilan yang ia dapatkan.

"Iya, tapi kami juga tak selalu salah, kan?", tanya wakasek.

"Kalian semua mungkin memang tak selalu salah, namun terbiasa melakukan kesalahan yang sama. Maka, haruskah saya mengikuti orang-orang bodoh yang selalu jatuh pada lubang yang sama! Setiap tahun kalian melakukan kesalahan yang sama!", jawab Rabil dengan tangkas.

"Baiklah… lalu apa yang  harus kami lakukan?", tanya guru BK.

"Kalian harus meminta maaf pada orang-orang yang telah kalian kecewakan! Kalian harus bertaubat pada Tuhan! Dan kalian harus mengubah kesalahan kalian dengan kebaikan! Jika kalian tidak melakukan itu, aku berjanji akan menghancurkan sekolah ini!", tegas Rabil.

***

Rabil dikenal sebagai pribadi yang sabar, pendiam, santun, ramah, toleran, bijak dan hampir tidak bercela di hadapan teman-teman dan gurunya. Seringkali dia aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial. Dia pernah menjadi salah satu ketua panitia pelaksana kegiatan keagamaan di sekolahnya. Cukup banyak siswi-siswi yang menaruh hati pada Rabil. Mereka tertarik akan kebijaksanaan ucapannya yang seringkali menentramkan hati mereka yang labil. Di mata teman-temannya Rabil tampak seperti tak punya masalah, dia terlihat tangguh dalam menghadapi situasi hidup. Sangat jarang keluhan terdengar dari seorang Rabil, justru Rabil banyak menjadi tempat untuk mengadu berbagai masalah hidup teman-temannya. Dia adalah sandaran yang kokoh, bisa menjadi seorang kakak, seorang sahabat maupun seorang guru yang menjadi contoh bagi teman-temannya.

Namun, beberapa waktu belakangan sikap Rabil menjadi lebih tertutup terhadap teman-temannya, dia menjadi lebih agresif, mudah menghakimi dan terkesan ingin menangnya sendiri. Kejadian itu, bermula saat dia mengenal sebuah organisasi remaja bernama JMBS (Jaringan Merasa Benar Sendiri) yang merupakan salah satu anak dari JAPEMTOBA (Jaringan Pembela Totaliterisme Berkedok Agama). JMBS memang tersebar di berbagai sekolah di Negeri Neha, namun tak ada upaya dari pihak pemerintah maupun pihak sekolah untuk menyelidiki aktivitas maupun tujuan dari organisasi ini. Padahal organisasi ini sudah cukup lama ada dan setiap tahunnya senantiasa berhasil merekrut generasi-generasi muda yang masih polos, punya semangat untuk berjuang, membutuhkan pengakuan dan masih memiliki harapan akan kedamaian.

"Aku heran, aku heran, yang salah dipertahankan
Aku heran, aku heran, yang benar disingkirkan!", ujar Rabil meniru lirik lagu almarhum Franky Sahilatua di kamar tidurnya.
"Aku heran kenapa kebenaran malah ditinggalkan?
Aku heran kenapa kebohongan malah ditinggikan?
Aku heran kenapa keadilan malah diabaikan?
Aku heran kenapa korupsi malah disuburkan?

Kenapa kalian melaknat orang yang ingin berbuat jujur, duhai orang berlabel guru?
Kenapa kalian memprovokasi untuk berbuat curang, guruku?
Kenapa kalian berani menjual kebenaran untuk gengsi dan ambisi?
Apakah gengsi dan ambisi dapat memberikan kebahagiaan bagimu?

Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Inikah orang-orang yang dianggap sebagai pahlawan?
Jika pahlawan sudah seperti ini,
Apalagi rakyatnya?

Ah, negara ini memang sudah kacau!
Benar apa yang dikatakan mentorku, kalau negara ini memakai sistem berhala!
Konsekuensinya, tak ada kebahagiaan di negeri ini!
Yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin, karena sistemnya salah total!

Sistem yang benar yang manakah yang masih melindungi perbuatan-perbuatan asusila?
Sistem yang benar yang manakah yang masih melindungi nilai-nilai kecurangan?
Sistem yang benar yang manakah yang masih menjunjung tinggi egoisme pribadi?
Sistem yang benar yang manakah yang masih mengabaikan kebenaran?

Aku harus buat perubahan!
Bersama JMBS, akan ku buat negeri yang bersistem pada sistem Tuhan!
Sistem kebenaran!
Aku yakin, Tuhan pasti meridai jalanku!", ujar Rabil kembali.

Rabil memang terkenal berotak tajam, ia pandai berkata-kata. Ia juga memiliki bakat dan talenta. Intelektualitasnya di atas rata-rata. Sejak kecil Rabil dididik dalam lingkungan yang baik namun dogmatis. Kadangkala ia ingin menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan ajaran agamanya. Namun, pertanyaan-pertanyaannya sangat jarang terjawab karena dianggap sebagai pertanyaan-pertanyaan bidah yang haram untuk ditanyakan. Saat Rabil tumbuh balig, dia merasa bahwa dia memiliki hak untuk mendapatkan kebenaran dan pengetahuan yang benar-benar meyakinkan.

Dia mulai mengkritisi ketidak konsistenan orang tuanya dalam menjalankan ajaran agamanya sendiri. Menurutnya, orang tuanya telah melakukan kesalahan. Padahal orang tuanya dikenal rajin menghadiri pengajian namun dalam kehidupan sehari-harinya, seringkali melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya.

Ayah Rabil seringkali berbicara dengan nada tinggi, sehingga bagi Rabil yang memiliki kepekaan emosi menafsirkan sebagai sifat marah. Ayah Rabil memang orang yang tergesa-gesa dalam membuat keputusan, maklum dia hanya lulusan SD. Tapi, di sisi lain, sifat ini memberikan dampak yang signifikan bagi citranya di hadapan Rabil. Dalam pandangan Rabil, ayahnya adalah seorang yang mudah menuduh, cepat tersinggung, egois, suka berprasangka buruk dan suka membentak. Dia tak pernah membicarakan penilaiannya itu pada ayahnya, tapi memendamnya dalam hati. Dia takut disebut anak durhaka.

Dalam pergaulan masyarakat, Rabil terkenal sebagai anak baik. Dia tak pernah terlihat mengganggu orang lain. Dia juga cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial terutama yang berhubungan dengan agama. Rabil adalah seorang piatu, dia ditinggal wafat ibunya sejak kecil. Padahal, hanya ibunyalah satu-satunya orang yang mau mendengarkan perasaannya, tempatnya mengeluhkan segala rasa gundah yang ada dalam jiwa. Rabil ingin sekali memiliki seorang sahabat yang dapat memahaminya secara menyeluruh. Namun, sampai sekarang dia tak pernah mendapatkan orang yang mau mendengarkannya bercerita. Mereka seringkali tak punya waktu untuk diajak berbicara dari hati ke hati padahal mereka sering menuntut Rabil untuk mendengarkan keluhan mereka. Rabil merasakan ini sebagai sebuah ketidak adilan, namun begitu, dia mencoba untuk berusaha bersabar sembari mendapatkan pengetahuan yang jelas tentang apa yang sebaiknya dilakukan.

"Rabil! Makan dulu!", suara Ayahnya singkat dan lantang serta terkesan membentak.

"Ayahku, apakah nada bicaranya tak bisa diubah untuk menjadi lebih rendah?", gumamnya. Dia takut untuk menyampaikannya secara langsung, Rabil hanya bisa mendongkol saja setiap harinya.

Rabil segera turun, ia tahu bahwa perintah orang tua adalah kewajiban untuk dilakukan. Dia segera menghampiri ayahnya di dapur rumah. Ayah Rabil memasakkan telur ayam untuk lauknya pagi ini. Sebelum berangkat sekolah, Rabil memang membiasakan diri untuk selalu sarapan pagi. Selain untuk menunda lapar, dia juga tahu kalau sarapan pagi dapat meningkatkan daya fokusnya. Setelah selesai, dia berangkat pergi ke sekolah.

"Kali ini adalah jam pelajaran agama. Bapak harap kalian persiapkan hafalan kalian, kita akan tes hari ini!", ujar guru PAI Rabil di kelasnya.

"Pak, kenapa kita hanya menghafalkan kitab suci saja, kenapa kita tidak mengamalkannya?!", ujar Rabil lantang.

"Kita juga harus mengamalkannya, Bil! Jangan cuma menghafalnya!", jawab guru.

"Jika begitu, kenapa sekolah ini tidak mengamalkannya, Pak?", ujar Rabil bermaksud menyudutkan gurunya.

"Apa maksudmu? Sudah, kita tak usah membahas yang tidak penting! Lebih baik kau hafalkan saja surat yang Bapak tulis di depan board!", balas guru itu sambil melangkah ke luar kelas.

Pertanyaan-pertanyaan Rabil seringkali tak mendapat penghargaan, kalau bukan disebut pertanyaan yang tak penting. Guru-guru di sekolahnya enggan memberikan perhatian pada apa yang ada dalam pikiran anak didiknya. Mereka tak mau memahami apa yang akan terjadi dari sebuah pikiran. Mungkin mereka belum belajar teori kognisi, mengenai vitalnya peran pikiran terhadap perilaku seseorang.

Rabil, merasa tak mendapatkan apa yang ia cari di sekolahnya. Dia merasa percuma bersekolah jikalau ilmu yang diajarkan tak mampu menjawab persoalan-persoalan  hidup yang dialaminya. Alhasil, dia memilih untuk mencari ilmu yang ia butuhkan di tempat lain. Kebetulan di sekolahnya ada, JMBS. Sebuah organisasi luar sekolah namun kegiatannya dilaksanakan di sekolah. Beberapa guru agama menjadi mentornya disertai mahasiswa-mahasiswi yang satu aliran keyakinan dengan mereka. Pihak sekolah tak mencurigai sedikitpun pada organisasi ini. Mereka mengizinkan kegiatan organisasi ini, bagi mereka semakin banyak kegiatan maka citra sekolahnya akan semakin baik. Selain itu JMBS dipenuhi simbol-simbol agama, dan tentu saja tak ada masyarakat yang akan meragukan agama. Semakin banyak simbol agama, maka masyarakat akan berpandangan kalau sekolah ini baik dan layak sebagai tempat menitip anak mereka.

***

"Pemerintahan kita adalah pemerintahan yang menyembah berhala! Mereka semua kembali pada zaman kebodohan! Tidakkah kalian lihat? Kain saja mereka agung-agungkan, pakai dihormat-hormat segala!", ujar seorang mentor JMBS. Siswa-siswi yang mengikuti mentor terlihat tertawa kecil menyetujui apa yang dikatakan sang mentor.

"Tapi, kitab suci ini! Kita suci yang diturunkan pada kita semua dari Tuhan Yang Maha Benar dilecehkan! Mereka dengan beraninya mengganti sistem Tuhan dengan sistem berhala yang mereka buat sendiri! Dasar negara kita adalah berhala hasil ciptaan pikiran-pikiran manusia!", sambungnya lagi.

"Lalu, apa yang mesti kita lakukan?", tanya seorang peserta mentoring.

"Kita harus ubah! Tengoklah salah satu ayat dalam surat ini! Barangsiapa yang berhukum selain hukum Tuhan, maka dia adalah orang ingkar, zalim dan fasik! Hukum Tuhan harus kita tegakkan di muka bumi ini. Hanya itulah satu-satunya cara untuk selamat di dunia dan di akhirat!", jawab sang mentor.

"Pak, saya pernah dengar dari salah satu tokoh agama di TV. Menurut beliau dalam salah satu kitab tafsir yang masyhur, dikatakan kalau ayat ini ditujukan untuk golongan Yahudi saja, bukan setiap manusia. Bagaimana dengan ini?", tanya salah seorang peserta.

"Ya, asal-muasal turunnya memang begitu. Tapi, kitab suci ini kan diturunkan untuk seluruh manusia, bukan hanya Yahudi saja. Maka maknanya adalah umum, setiap orang yang berhukum selain hukum Tuhan maka dia adalah orang ingkar, zalim dan fasik!", tegas sang mentor.

"Maaf, Pak, tapi kalau dilihat dari sintaksis bahasa asli kitab suci ini, ingkar, zalim dan fasik ini kan bisa bersifat khusus dan bisa pula bersifat umum, tergantung keadaan orangnya. Dan untuk menafsirkan suatu ayat, kita juga mesti memperhatikan sebab turunnya, kan? Juga pendapat sahabat dan ahli agama terdahulu, dan sejauh yang saya ketahui, diantara mereka tak ada yang menafsirkan seperti yang Bapak tafsirkan", ujar salah seorang peserta.

"Pemikiran Anda menyimpang dari agama! Anda ahli bidah dan Anda menentang hukum Tuhan! Sekarang Anda adalah kafir, zalim dan fasik! Mulai sekarang, keanggotaan Anda dicabut dari JMBS!", balas sang mentor dengan lantang.

Anak tadi keheranan mendengarkan pernyataan mentornya. Dia berpikir kalau dia hanya mencoba untuk berdiskusi dan memperbandingkan penafsiran yang beragam dari yang ia ketahui dengan yang mentornya ketahui. Namun, dia dengan mudah divonis sebagai penyimpang. Apakah para sahabat Nabi, para ulama dan orang-orang shalih yang menjadi rujukan penafsirannya itu pun ahli bidah? Namun, anak ini sudah terlanjur kecewa, dia langsung keluar kelas diikuti seorang temannya yang simpatik padanya. Sementara siswa-siswi lainnya masih mengikuti kelas mentoring JMBS.

"Maaf, Pak, apakah orang maksiat itu berhukum selain pada hukum Tuhan?", tanya seorang anak lagi yang masih mengikuti mentor.

"Pasti! Tuhan, kan tak menyuruh kita berbuat maksiat?!", balas sang mentor.

"Berarti tiap orang yang bermaksiat, jadi orang ingkar, zalim dan fasik dong, sekalipun dia itu ahli agama seperti Bapak?", ujar anak itu kembali.

Sang mentor terdiam, dia berusaha mencari cara untuk membenarkan perbuatannya tadi.

"Iya, Pak, tadi Bapak bentak-bentak teman kami dan berujar dengan ucapan yang membuatnya sakit hati! Bukankah perbuatan membentak dan membuat sakit hati itu perbuatan maksiat dalam pandangan agama? Tambah lagi, Bapak berani menuduh teman kami sebagai orang bidah, ingkar, zalim dan fasik, padahal menurut kami dia itu orang yang sangat rajin beribadah, baik pergaulannya dan kuat hafalannya! Perkataan Bapak itu bisa menjadi fitnah, dan fitnah itu perbuatan maksiat, kan? Karena Bapak bermaksiat, maka Bapak berhukum selain pada hukum Tuhan, karena berhukum selain pada hukum Tuhan, maka Bapak itu orang ingkar, fasik dan zalim!", teriak anak yang lain sembari meninggalkan kelas. Beberapa anak terlihat mengikutinya, sedang yang lainnya masih takut untuk mengikuti teman-teman mereka. Mereka takut kalau-kalau nilainya dikurangi karena menentang guru agama mereka. Demikianlah kejadian di salah satu kelas tempat mentoring JMBS. Beberapa anak yang berani mengkritisi dogmatisme ala JMBS akhirnya dikeluarkan atau memutuskan dirinya sendiri untuk keluar.

Sedang Rabil berada di kelas lain. Dia dengan tertib mengikuti kegiatan mentor, tanpa pertanyaan kritis yang biasa ia lontarkan pada guru-guru sekolahnya. Kalaupun dia bertanya, dia hanya menanyakan hal-hal yang menjadi kekecewaannya. Apakah dia benar untuk bersikap kecewa terhadap ketidakadilan yang ia terima ataukah salah. Tentu para mentor, menganggapnya benar. Mentor-mentor itu mulai berpikir kalau Rabil adalah anak yang tepat untuk dijadikan kader mereka. Rabil memiliki kekecewaan yang mendalam terhadap sistem formal. Dengan begitu, dia akan dengan mudah ditaburi paham-paham yang berseberangan dengan ajaran agama dengan metode pembohongan sejarah dan menanamkan doktrin agar selalu berprasangka buruk terhadap pendapat yang berbeda dengan mereka.

Setelah kelas mentoring selesai, seorang mentor yang juga salah satu guru agama Rabil mendekati,

"Bil, gimana keadaan kamu hari ini?", tanyanya.

"Baik, Pak! Hanya saja saya masih bingung terhadap ketidakkonsistenan orang-orang di sekitar saya. Saya jadi merasa dikelilingi oleh orang-orang munafik, Pak!", curhat Rabil.

"Memang begitulah orang-orang sekarang. Itulah kenapa Bapak katakan, kalau kita kembali pada zaman kegelapan. Harapan-harapan kebaikan sirna, kehidupan yang suci terhapus oleh hawa nafsu-hawa nafsu kaum yang ingkar. Tahukah kamu, kalau kaum yang ingkar ini tengah mempersiapkan diri untuk menghancurkan kita lambat laun. Mereka tak kan membiarkan kita menetap pada agama kita…"

"Maksud Bapak, orang-orang ingkar itu sedang berencana membunuh kita?", potong Rabil.

"Ya! Jika tidak fisiknya, yang dibunuh adalah pemikirannya! Kita dicekokki sejarah-sejarah palsu! Saudara-saudara kita di negeri jauh dibantai! Dan orang-orang yang benar-benar beriman dibunuhi tanpa rasa ampun, mereka tak dibiarkan untuk bicara di depan publik mengenai kebenaran sejati!", ucap sang mentor mulai memprovokasi Rabil.

"Tapi, Pak, bukankah di dalam TV juga banyak ahli-ahli agama yang diberi kesempatan sampai berjam-jam untuk berbicara tentang agama kita?", tanya Rabil yang belum kehilangan daya kritisnya.

"Aaahhh! Mereka itu bukan ahli agama, mereka cuman budak dunia. Mana ada ahli agama yang mau digaji program pamer aurat dari hasil iklan dan sinetron? Pamer aurat itu, kan perbuatan maksiat!", jawab sang mentor dengan nada meninggi.

Rabil terpesona dengan perkataan mentornya tersebut. Dia merasa inilah orang yang pantas untuk diteladani dan diikuti. Ucapannya menyiratkan kalau mentornya itu betul-betul  bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agama. Dia mulai yakin, kalau mentornya ini adalah orang lurus yang konsisten antara perkataannya dan perbuatannya. Dia berjanji akan terus mengikuti pengajaran JMBS dan menjadi salah satu figur ternama di organisasi ini. Dia yakin, inilah satu-satunya wadah tempat dia dapat menumpahkan segala kekecewaannya terhadap perlakuan orang-orang di sekelilingnya. Perlakuan temannya, perlakuan ayahnya, perlakuan guru-gurunya! Tempatnya mengemukakan ide-idenya. Ya, setiap manusia memang butuh untuk diakui, termasuk Rabil.

***

Rabil pulang dari reuninya diiringi sindiran-sindiran dan senyuman sinis dari teman-temannya. Hatinya semakin mendongkol pada mereka. Bertambahlah kebencian yang mendalam terhadap mereka karena perlakuan itu. Ada rasa ingin membalas perbuatan mereka. Bagi Rabil, teman-temannya berbuat tidak adil padanya. Rabil merasa mereka tidak mengakui perbuatan baik Rabil yang telah dia lakukan padanya. Mereka malah menjauhi dan menghina saat Rabil membutuhkan seorang yang dapat mencerahkannya.

Kring Kring Kring!

Handphone Rabil berbunyi, ternyata panggilan dari salah seorang mentornya,

"Salam, Rabil! Kamu udah lulus, kan? Bapak ingin bertemu kamu di masjid kita yang biasa!", ujar mentornya.

"Salam, Pak! Baik, Pak, saya akan segera kesana!"

Telepon ditutup. Mereka memang sudah terbiasa berbicara singkat di telepon. Mereka seringkali menggunakan kode-kode tertentu. Hal ini dimaksudkan agar percakapan mereka tidak dicurigai oleh intel pemerintah. Entah apa yang membuat mereka takut oleh pemerintah? Apakah mereka menjadikan pemerintah sebagai musuh? Rabil sudah berada di sebuah masjid, mentor-mentor nya sudah hadir di serambi masjid.

"Hey, Bil! Tuhan memberkatimu! Ada hal penting yang harus kita bicarakan!!", sapa salah seorang laki-laki berjaket hitam yang menjadi salah seorang mentornya.

"Mengenai apa, Pak?", tanya Rabil.

"Begini, kau tahu kan kita ada di negara yang ingkar karena pemerintah kita tidak menggunakan hukum Tuhan?", salah seorang mentornya balik bertanya.

"Ya! Karena itulah kerusakan dan degradasi moral merajalela!", balas Rabil.

"Karena itu, pemerintah kita adalah kaum ingkar! Negara ini adalah negara ingkar! Kita harus berpindah dari wilayah ini!", jawab lelaki berjaket hitam.

"Pindah?"

"Ya, kita harus pindah dari wilayah ini untuk berlatih demi menjadi penghuni surga!", ujarnya.

"Penghuni surga?", tanya Rabil.

"Ya! Yakinlah Bil! Kita berada di jalan yang benar, apakah kita terus hidup sampai negara impian kita terbentuk, ataukah kita mati dalam perjuangan itu, kita pasti masuk surga! Bayangkan bidadari-bidadari yang jernih matanya dan mulus kulitnya akan menyapamu disana! Pikirkanlah segala keinginanmu akan ada disana!", balas seorang dari mereka.

Rabil terpesona kata-kata dari mentornya. Dia mulai membayangkan keindahan-keindahan alam surga. Nampaknya surga itu cukup untuk menghilangkan segala kekecewaan yang pernah ia alami. Dia telah bertekad untuk menjunjung tinggi ajaran JMBS. Dan sebagai seorang yang konsisten, dia akan melakukan apa yang telah ia katakan.

"Bil? Kamu mau kemana?", tanya ayahnya yang heran melihat Rabil membawa tas sore-sore padahal anaknya itu sudah lulus sekolah.

"Mau ke rumah teman, Pak? Mau numpang kerja", jawab Rabil berbohong. Dia teringat ucapan mentornya bahwa dia harus menyembunyikan identitasnya sebaik mungkin. Padahal bukankah Rabil membenci kebohongan? Memang ada disonansi dalam dirinya, namun ia percaya kalau mentornya adalah orang-orang yang ahli agama. Rabil meyakini itu adalah taktik untuk mencapai kemenangan organisasinya. Rabil meyakini tujuan organisasinya baik, karena itu jalan apapun untuk mencapainya adalah baik.

Rabil lalu segera beranjak meninggalkan rumahnya, di dalam kantongnya dia bawa beberapa pakaian ganti dan sejumlah uang. Dia mencuri uang dari saku ayahnya, saat ayahnya di kamar mandi. Dia juga menjual beberapa barang elektronik yang ia miliki untuk mengumpulkan dana yang harus disetorkan pada JAPEMTOBA. Menurut mentornya, dana itu akan digunakan untuk perang suci, membeli bom dan berbagai peralatan untuk melakukan perlawanan pada pemerintah.

Di perjalanan, Rabil melihat sebuah motor dengan kunci yang masih terpasang. Rabil tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia yakin kalau pemilik motor itu tak pernah belajar apa yang ia pelajari di JMBS. Rabil menyimpulkan kalau pemilik motor yang entah kemana itu pastilah orang ingkar karena tunduk pada hukum-hukum selain Tuhan menurut pemahamannya. Dia segera mencuri motor tersebut dan mengendarainya menuju tempat pertemuan dengan mentornya.



Tibalah dia di suatu rumah yang telah dikatakan mentornya. Rumah itu bersatu dengan sebuah warnet dan tempat fotokopi, cukup ramai. Rabil jadi agak ragu, kalau ini merupakan tempat pertemuan untuk berhijrah. Padahal sebelumnya, dia sering melakukan pertemuan di tempat yang sepi, kalau bukan di masjid dan acara mentoring. Salah seorang rekan satu sekolahnya terlihat menyapanya,

"Salam! Bil, kesini! Sudah pada kumpul lho, yuk!", teriaknya dari salah satu pintu rumah. Rumah ini memang terbilang besar dan ternyata warnet dan fotokopi yang menempel itu adalah milik yang punya rumah yang juga merupakan aktivis JAPEMTOBA. Dia sekolah di Langma, sebuah negara yang dalam beberapa dekade terakhir menerapkan sistem totaliterisme. Dia mengatakan kalau usaha bisnis yang ditekuninya memiliki dua fungsi. Pertama fungsi ekonomis untuk dirinya sendiri, kedua adalah fungsi untuk mencegah kecurigaan aparat pemerintah terhadap aktivitas di dalamnya.

Rabil segera masuk. Didalamnya sudah ada beberapa orang yang seusia dengannya, tiga orang diantaranya adalah temannya sendiri. Mentor-mentornya sudah hadir disana. Rupanya Rabil yang terakhir mereka tunggu. Mereka kemudian memulai pembicaraan. Para mentor mempersiapkan kumpulan tulisan untuk melakukan dogma pada anak-anak ini agar mereka tak memiliki keraguan lagi akan kegiatan yang akan dilakukan oleh JAPEMTOBA.

"Kalian semua adalah orang-orang terpilih yang akan menegakkan kebenaran di muka bumi ini! Saudara-saudaraku semua, orang-orang yang ingkar tak kan pernah rela sebelum mereka membuat kita menjadi ingkar seperti mereka atau memusnahkan kita dari muka bumi ini. Ujian pasti akan datang dan itu merupakan cobaan bagi perjuangan kita. Kalian semua telah meninggalkan keluarga kalian yang masih ingkar. Percayalah! Ini perbuatan yang benar karena kita berpijak pada landasan yang benar, hukum Tuhan!", seru seorang mentor. Dia ingin menunjukkan kalau JAPEMTOBA mengakui eksistensi mereka di muka bumi ini sebagai seorang yang terpuji, utama dan terpilih sehingga menimbulkan jiwa bangga diri. Ketika sudah tumbuh rasa bangga diri, maka akan tumbuh kepercayaan diri. Dan karena JAPEMTOBA lah yang memberikan energi bagi anak-anak ini untuk senantiasa berbangga diri, maka mereka akan semakin terikat dengan JAPEMTOBA.

"Setiap keraguan yang ada dalam diri kalian terhadap ajaran JAPEMTOBA adalah hawa nafsu! Maka jangan biarkan hawa nafsu mengendalikan sikap kalian!", ujar mentor lainnya membuat argumentasi sofisme. Namun, diantara mereka masih ada yang bersikap kritis.

"Pak, saya tidak ingin dikendalikan hawa nafsu saya, namun saya memiliki sebuah ganjalan di hati. Saya ingin ganjalan itu sirna dengan ilmu Bapak!", ucap seorang anak kompromistis.

"Apa ganjalan di hatimu terkait organisasi kita? Bukankah kita berada di jalan yang benar? Bahkan kita adalah satu-satunya yang benar di dunia ini? Seluruh negara dan pemerintahan negara di dunia ini adalah ingkar terhadap Tuhan? Hanya kitalah, orang-orang terpilih yang masih suci dari racun-racun sekulerisme!", jawabnya.

"Begini, Pak, jikalau seluruh negara di dunia ini negara ingkar, kemana kita akan berhijrah? Kemudian Bapak sendiri punya KTP, kan? Punya SIM, punya sertifikat tanah dan rumah yang semuanya diatur oleh pemerintah kita yang ingkar. Kita semua disini juga membayar pajak, yang berarti sudah mengikuti hukum selain Tuhan. Tidakkah kita juga termasuk orang-orang ingkar karena berhukum kepada selain hukum Tuhan itu?", tanya anak lelaki tersebut.

"Itu adalah pertanyaan bidah! Tak seharusnya kamu berpikiran seperti itu! JAPEMTOBA adalah organisasi yang benar! Kita telah menyaksikkan sendiri kebobrokkan organisasi-organisasi lain yang mengatasnamakan keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan sosial justru menjadi pelaku korupsi? Mereka telah mencuri hak-hak kita dan membodohi kita? Tidakkah kau saksikkan bahwa kitalah, yang ikut serta dalam perjuangan membela saudara-saudara kita yang tertindas di luar negeri?!", ujar sang mentor yang sudah terbiasa membidahkan segala perkataan yang dapat mengancam keyakinannya itu.

"Baik, maaf, Pak!", ujar penanya itu.

Rabil terhenyak dengan pertanyaan temannya yang tak dapat dijawab oleh mentornya itu. Dia merasa itu adalah pertanyaan yang sesuai realita yang harusnya dapat dijawab oleh mentornya. Bukankah kebenaran itu harusnya membuat realita lebih jelas, bukannya semakin kabur dibentengi kata-kata bidah? Apa sebenarnya bidah itu? Rabil mulai termenung dan mengkritisi kembali pilihannya terhadap organisasi ini.

"Benar apa yang ditanyakan anak itu. Jika seluruh negara di dunia ini ingkar, kemana lagi harus berhijrah? Realistiskah ide hijrah itu di masa kini? Akankah aku berhijrah dari tempat yang buruk ke tempat yang buruk lagi karena semua wilayah sudah menerapkan hukum berhala? Lagipula, sejak lahir sampai sekarang, dan bahkan sampai pertemuan sekarang aku tak  pernah keluar dari hukum pemerintah. Akta kelahiran, KTP dan semua surat-surat kenegaraan lainnya aku miliki. Pajak negara aku bayar. Di jalan tadi, aku mematuhi peraturan lalu lintas yang dibuat oleh hukum yang menentang Tuhan. Setiap hari aku pakai uang yang dibuat oleh pemerintah yang selama ini ku anggap berhala. Motor yang ku gunakan, dibuat dengan teknologi yang didasarkan pada pemikiran manusia yang pasti bukan hukum Tuhan. Bahkan baju yang sekarang ku pakai pun dibuat dengan mesin jahit yang tercipta karena pemikiran manusia sama seperti undang-undang ini. Apakah sebenarnya batasan hukum Tuhan dan bukan hukum Tuhan? Apakah segala ide yang berasal dari manusia itu serta merta bertentangan dengan hukum Tuhan?", ujar Rabil dalam pikirannya.

"Pak, Anda tadi mengatakan kalau organisasi-organisasi di luar kita, katakanlah partai-partai yang pro parlemen itu adalah pelaku korupsi. Korupsi itu berarti mencuri kan? Namun, Bapak juga membolehkan kami untuk mencuri demi kepentingan JAPEMTOBA. Tidakkah kita sama dengan parpol-parpol itu, sama-sama membolehkan pencurian untuk kepentingan organisasi?", tanya seorang anak yang lain. Alisnya tebal menunjukkan daya kritis yang tinggi.

"Pertanyaanmu dapat mengakibatkan kekafiran, maka haram untuk ditanyakan!", jawab sang mentor singkat.

Anak beralis tebal itu tak puas. Dia kemudian berdiri dalam halakah tersebut. Dan mendeklamasikan dirinya keluar dari JAPEMTOBA. Mentor-mentornya mengatakan, kalau dia telah menjadi seorang yang ingkar, zalim dan fasik. Dan hidupnya akan terus diancam dan diteror atas pilihannya.

"Kau sekarang halal untuk dibunuh!", ujar seorang mentor menunjuk anak lelaki beralis tebal.

Rabil yang mendengarkannya terhenyak. Dia berpikir betapa mudahnya, mentor-mentornya untuk membunuh manusia. Apakah itu bukan perbuatan maksiat? Apakah itu bukan perbuatan yang menentang hukum Tuhan? Rabil mulai merasa bahwa ada ketidakkonsistenan dalam organisasi yang ia agung-agungkan selama ini. Intelektualnya tersengat. Dia mulai mengumpulkan memori-memorinya selama dia hidup di muka bumi ini. Sejak kecil ia hidup dalam kasih sayang hingga ibunya meninggal. Ayahnya memang bukan orang yang terlalu memperhatikannya, namun darinyalah ia dapat menyuap nasi, mendapatkan uang jajan, disekolahkan, dibeli pakaian, mainan dan  banyak hal yang ia butuhkan dan inginkan.

Kalaupun ayahnya tak bisa membelikan apa yang ia inginkan, maka sang ayah akan meminta maaf, tak pernah mengatakan kalau keinginannya itu haram atau bidah seperti yang sering diucapkan oleh mentornya. Dia mulai membayangkan jika untuk meminta kejelasan pola fikir saja yang tak membutuhkan dana sudah dibatasi kata-kata bidah, haram apalagi sampai menghalalkan darah sang penanya, maka bagaimana jika dia meminta barang-barang yang harus dibeli dengan uang mereka? Benarkah mentor-mentornya itu lebih menyayangi Rabil dibanding ayahnya Rabil? Dapatkah mentor-mentor itu menghabiskan hasil keringatnya seharian untuk membiayai Rabil?

"Ah, ternyata selama ini aku terlalu berfokus pada rasa ketidakpuasanku! Aku melupakan jasa orang yang benar-benar memperhatikanku untuk membela orang-orang yang baru ku kenal", ucapnya dengan lisan.

Salah satu temannya yang mendengar perkataan Rabil menoleh padanya.

"Apa maksudmu, Bil?", tanya temannya.

"Aku telah memilih jalan yang seharusnya tak ku pilih! Aku telah menjadi ingkar ketika aku mengingkari kebenaran yang datang dari orang lain!", ucap Rabil sembari mengingat sikapnya ketika mendengarkan ceramah yang bukan dari mentornya ia selalu tidak fokus, atau malah keluar begitu saja tanpa merasa bersalah.

Selama ini Rabil telah terkena dogma JAPEMTOBA, kalau kebenaran hanya milik JAPEMTOBA. JAPEMTOBA selalu mengatakan kalau manusia menjadikan dirinya sebagai Tuhan dengan bersandar pada hukum selain Tuhan. Namun, pada praktiknya, ternyata aktivis-aktivis JAPEMTOBA pun telah menjadikan dirinya sebagai Tuhan dengan menganggap diri sebagai yang paling tahu, paling benar, paling pantas untuk menghakimi, dan paling tinggi untuk memberikan sebuah keputusan. Rabil mulai merasakan ketidakkonsistenan mereka dengan perkataan mereka sendiri.

"Kalian juga munafik, dan telah membuatku menjadi seorang munafik!", ucap hati Rabil mengarahkan matanya pada mentor-mentornya.

Anak-anak yang lain berusaha merayu sang anak beralis tebal agar mereka menarik ucapannya. Mereka tak ingin sesuatu buruk terjadi di rumah ini. Salah seorang mentor sudah menginstruksikan untuk membunuh anak itu. Namun, mentor lainnya berpendapat agar dia dilepaskan saja. Mentor yang satu ini sebenarnya ingin membunuhnya juga, namun mengingat situasi yang mudah untuk diketahui masyarakat, maka dia mengingatkan pada kawan sesama mentornya itu agar menjaga keamanan diri dan organisasi ini.

"Biarkan satu virus keluar, agar yang lainnya tak terkena virus! Semoga dia mau bertobat di kemudian hari!", ujar salah satu mentor sembari merencanakan tindakan teror terhadap anak beralis tebal ini.

"Pak, saya dan saya rasa orang-orang berotak disini sudah terkena virus saudara saya ini!", ujar Rabil tiba-tiba. Dia sudah tak dapat menahan disonansi mental yang ia derita selama mengikuti organisasi yang berada dibawah naungan JAPEMTOBA. Dulunya dia mengira JAPEMTOBA dan JMBS adalah organisasi yang bercita-cita luhur, meninggikan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, pada kenyataannya pola pemikirannya penuh dengan kebencian, egoisme, ketidaktaatasasan, kontradiktif, dan suka menghujat. Rabil juga mengingat-ingat semenjak masuk JMBS dia menjadi sering mengeluarkan perkataan kotor, pernyataan yang tak diverifikasi dan bahkan fitnah yang ia buat sendiri demi membenarkan pemahaman organisasinya.

"Sebelum, saya masuk JMBS dan JAPEMTOBA. Saya begitu menghindari informasi yang tak pasti, kendatipun informasi itu dapat menjadi kekuatan bagi saya…", ujar Rabil.

Anak-anak lainnya ikut berdiri. Mereka mulai merasakan dan memikirkan apa yang dikatakan Rabil. Sedang para mentor  menampakkan wajah geram. Rabil melanjutkan,

"Karena saya menjunjung tinggi ide-ide kejujuran! Namun, ketika saya masuk JMBS, saya akan dengan mudah menghakimi orang lain dengan informasi yang saya tambah-tambahi atau potong-potong demi kepentingan pembenaran paham yang Anda-Anda ajarkan! Bahkan tadi pagi, saya berani mencuri uang Ayah saya, saya berani menjual mainan dan laptop saya, saya berani mencuri motor orang lain! Ternyata saya menjadi seorang pembohong setelah masuk organisasi ini!", teriak Rabil.

Anak-anak lainnya terhenyak, memori-memori tentang sejarah hidup selama di dunia ini bermunculan dalam benak mereka. Apa yang dikatakan Rabil adalah sebuah kebenaran, yang seringkali dilupakan karena mereka terlalu terfokus pada impian-impian yang ditawarkan mentor-mentor JAPEMTOBA.

"Disini saya diajarkan untuk mengkafirkan Ayah saya, seorang beriman yang telah bersusah payah membesarkan, merawat dan melindungi saya! Disini saya diajarkan untuk menghujat pemerintah yang telah memfasilitasi saya sehingga dapat berpikir seperti ini! Disini saya diajarkan untuk melupakan kebaikan orang lain dan membalas mereka dengan cercaan, cacian dan fitnah! Disini saya diajarkan untuk mempercayai sejarah-sejarah dusta yang tak tahan uji kritik! Disini saya diajarkan untuk membunuh sesama manusia dan menghancurkan tempat ibadah yang tak seagama dengan saya karena mereka dianggap bertanggung jawab terhadap penyiksaan saudara saya di negara lain yang dilakukan oleh orang lain yang berbeda! Disini saya diajarkan untuk menerima doktrin-doktrin yang takut dikritisi dan menolak pendapat-pendapat yang terbuka untuk dikritisi! Disini saya diajarkan untuk merasa paling benar dan menyalahkan orang lain yang tak sependapat dengan saya! Disini saya diajarkan berbangga diri dengan hati yang keras dan pikiran yang picik!

Mulanya, saya berpikir Anda-Andalah yang pantas menjadi figur teladan saya! Yang benar-benar memahami keinginan saya akan kejujuran, keadilan dan kebahagiaan! Namun, ternyata Anda-Andalah yang membuat kegaduhan, rasa egoisme dan kegundahan di hati saya! Anda membenarkan jalan yang salah untuk mencapai tujuan Anda! Padahal kalaupun tujuan Anda itu benar, maka haruslah melalui jalan yang benar! Tak ada kain bersih yang dicuci dengan air yang kotor! Tak ada tujuan suci yang dapat dicapai dengan jalan yang kotor!", ujar Rabil dengan lantang.

Anak-anak tercengang menyaksikan keberanian Rabil. Nyali lima mentor yang ada disana menciut. Anak-anak yang mereka dogma agar menerima paham mereka tanpa kritikan tajam , mulai mampu berpikir jernih. Anak-anak ini, menyadari bahwa rasa diperlakukan tidak adil, rasa tidak diakui, rasa putus asa akan masa depan yang serba baik, benar dan indah membuat mereka menggantungkan harapan tanpa kritikan pada orang-orang yang baru mereka kenal.

Akhirnya, mereka sendiri melakukan ketidakadilan terhadap diri mereka sendiri, mereka pun tidak mengakui disonansi mental yang mereka rasakan saat memaksakan diri untuk menerima doktrin JAPEMTOBA. Dan mereka akhirnya semakin berputus asa terhadap masa depannya, dengan melalaikan intelektual dan daya kritisnya sendiri untuk mengubah masa depan. Mereka menggantungkan harapan mereka pada sebuah organisasi yang ternyata menganggap dirinya sebagai Tuhan. Sungguh kontradiktif dengan slogan mereka, kembali pada hukum Tuhan! Ternyata yang dimaksud hukum Tuhan adalah ide-ide mereka sendiri!

"Ingat Rabil! Kita harus patuh pada hukum Tuhan, selain itu adalah berhala, termasuk idemu sendiri!", teriak para mentor dengan keras. Mereka nampaknya sudah kehilangan kesabaran. Teriakkan itu terdengar sampai ke luar, warga-warga yang sedang browsing di warnet, dan sedang memfotokopi mulai tertarik pada arah teriakkan itu.

"Kalau begitu, maka Anda menganggap Anda sendiri telah menjadi budak berhala! Bukankah Anda mengikuti ide-ide para filsuf tentang bagaimana cara membangun rumah yang baik? Jika tak ada Euclid, mungkin Anda hanya akan tinggal di gua sampai sekarang! Bukankah Anda patuh untuk berhukum pada ide-ide para ilmuwan ketika Anda menggunakan komputer dan mengoperasikannya? Bukankah baju yang Anda pakai juga diproduksi lewat hasil pikiran manusia? Bukankah motor yang Anda gunakan itu dibuat melalui hukum-hukum ilmiah yang Anda anggap bertentangan dengan hukum Tuhan? Bukankah setiap hari Anda mematuhi rambu-rambu lalu-lintas yang didasarkan pada peraturan pemerintah yang Anda katakan sebagai berhala? Sekarang tunjukkan padaku, ayat yang secara rinci yang menunjukkan cara mengoperasikan komputer! Tunjukkan padaku bagaimana cara membuat motor, mobil dan pesawat terbang secara rinci berdasarkan kitab suci Anda!", balas Rabil.

Para mentor itu terdiam. Anak-anak yang berada disana mulai ikut berkomentar. Mereka mulai terbuka pikirannya.

"Kau menyepelekan pengetahuan Tuhan, Bil! Padahal kami kira kamu adalah seorang yang beriman dengan sempurna!", ujar salah satu mentor.

"Berarti Anda tahu, kan pengetahuan Tuhan itu? Sekarang gunakanlah pengetahuan Tuhan Anda untuk menjawab pertanyaan saya dengan jawaban yang rinci dan meyakinkan!", tantang Rabil.

"Kau tahu, ilmuwan-ilmuwan dari kalangan agama kita banyak menyusun ilmu pengetahuan, kan? Itu menunjukkan kalau ajaran agama kita benar!", jawab salah satu mentor.

"Ya, saya memang yakin ajaran agama saya benar. Dan syukurlah Bapak-Bapak juga memahami kalau ada ilmuwan yang juga ahli agama, itu menunjukkan kalau ilmu pengetahuan bukan hukum berhala! Peraturan negara ini disusun berdasar ilmu pengetahuan jadi peraturan negara ini bukan hukum berhala! Karena ternyata ahli agama pun menggunakan hukum-hukum ilmu pengetahuan! Saya hanya meragukan pemahaman Anda-Anda tentang agama! Saya ingin bertanya, apa batasan antara hukum Tuhan dengan selain hukum Tuhan? Jika apa-apa yang datang dari makhluk tidak termasuk hukum Tuhan maka pastilah kita semua telah ingkar terhadap hukum Tuhan! Karena setiap saat kita selalu berhubungan dengan hasil budaya manusia!", tegas Rabil.

Para mentor mulai termenung. Kata-kata Rabil begitu tajam mendarat dalam jiwa mereka, memotong egoisme yang mereka pertahankan sejak didoktrin JAPEMTOBA.

"Lalu, apa menurutmu, batasan antara hukum Tuhan dan hukum selain Tuhan?", tanya para mentor serentak ingin mengetahui pendapat seorang remaja yang tadinya ingin mereka arahkan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri ini.

"Segala penafsiran yang melalui akal yang jernih dari prasangka dan intuisi yang suci dari segala sifat tercela! Bisa jadi apa yang datang dari 'yang Anda sebut sebagai hukum berhala itu adalah hukum Tuhan' walaupun tidak menyertakan secara tekstual ayat dalam kitab suci Anda yang baru turun beratus-ratus abad setelah Nabi Adam as ke bumi! Bisa jadi esensinya sama dengan maksud sebenarnya dari kitab suci Anda, namun kepicikan pikiran Anda menganggapnya bertentangan! Dengan memahami hukum Tuhan seperti ini, maka realita yang memang sudah terbukti benar menjadi sesuai dengan hukum Tuhan! Lagipula, secara literatur hukum Tuhan berarti takdir Tuhan, bukan hanya masalah penafsiran terhadap wahyu versi subjektif Anda saja. Karena jika Tuhan Maha Kuasa tentulah tak ada seorang pun yang berkuasa untuk menandingi hukum-hukumNya! Itulah pendapat saya sekarang, dan saya akan terus belajar selama saya hidup!", ucap Rabil optimis.

Hadirin termenung mempertimbangkan perkataan salah seorang diantara mereka itu. Sedang Rabil mulai terlihat cerah, dia sudah yakin akan meninggalkan organisasi ini. Dia juga berniat meminta maaf dan mengembalikan motor curiannya. Dia akan meminta maaf pada ayahnya karena telah berbohong padanya. Dia merasa tenang melalui ilmu yang baru ia dapatkan saat ia berucap dari pengakuan yang dalam terhadap perasaannya yang sebenarnya itu.

Sementara polisi-polisi tiba-tiba menyerbu rumah pertemuan didampingi warga sekitar. Rupanya mereka telah menyaksikan perbincangan Rabil dan anggota yang lain semenjak teriakkan itu. Seluruh peserta halakah, termasuk Rabil segera diamankan, namun Rabil bersama anak-anak yang lain terlihat tersenyum mekar. Mereka tahu, jalan yang telah mereka pilih adalah salah, buruk dan jelek bagi makhluk. Padahal tanpa melalui makhluk, bagaimana makhluk mengenal Tuhan?

Anak-anak remaja beserta lima mentor itu digiring ke kantor polisi. Mereka kemudian dimintai keterangan. Lima mentor yang sudah teridentifikasi sebagai teroris JAPEMTOBA tersebut diamankan di sel-sel besi. Sementara para remaja diberikan bimbingan oleh ulama setempat, sebelum diberikan kembali pada orang tuanya masing-masing.

Dari keterangan lima mentor ini, nyatalah kalau JAPEMTOBA dibiayai oleh negara kaya bernama Langma. Negara tetangganya sendiri, kabar ini segera meluas melalui media. Hubungan Ratu Eurli dan Raja Kamur mulai renggang. Kenapa Raja Kamur menyusupkan ideologi-ideologi di tengah masyarakat Neha yang dapat merusak ketahanan negara Neha? Apakah dia ingin merusak mental rakyat Neha? Apakah titel sebagai negara adidaya tak cukup membuatnya puas? Ataukah karena dia ingin menjadi penguasa dunia? Ah, politik memang bikin pusing!

Suatu ketika, Rabil tampil di TV dalam sebuah acara talkshow mengenai "Terorisme dan Remaja". Berdasarkan keterangan-keterangan dari rekannya di JMBS dan JAPEMTOBA, dia adalah salah satu orang yang masih berani bicara lantang dan kritis bersama dua anak lainnya di pertemuan itu.

"Apa yang membuat kamu tertarik masuk organisasi yang sekarang diketahui sebagai jaringan teroris ini?", tanya salah seorang pembawa acara.

"Banyaklah, Pak! Impian-impian dan janji-janji yang mereka tawarkan, kesediaan mereka untuk mendengarkan keluhan, ketidakadilan yang saya rasakan terhadap situasi hidup saya, ketidakpuasan melihat fenomena kemiskinan dan kejahatan yang kian meninggi, termasuk juga merasa diabaikan oleh orang-orang sekitar saya dan terakhir karena saya banyak kecewa terhadap tokoh-tokoh masyarakat dan agama yang saya anggap waktu itu tidak konsisten", jawab Rabil.

"Lalu, apa yang membuatmu yakin untuk meninggalkan JAPEMTOBA ini, padahal kan kamu mendapat ancaman teror bahkan ancaman pembunuhan?', tanya presenter yang sama.

"Keburukan sesuatu tak perlu menjadikan saya buruk. Saya yakin kalau situasi hidup yang saya alami maupun yang saya lihat tak perlu menjadikanku orang yang tergesa-gesa untuk mengambil sikap radikal dan totaliter. Saya yakin situasi hidup tiap orang spesial, menunjukkan kalau masing-masing orang dispesialkan oleh Tuhan. Saya hanya perlu membalas kado spesial ini melalui penerimaan, perenungan, dan penghayatan tanpa dibumbui rasa-rasa tercela. Saya menyadari bahwa ada yang saya tahu dan ada yang saya tidak tahu. Karena itu, saya tidak ingin sok tahu seperti orang-orang JAPEMTOBA yang ternyata banyak tidak tahunya!", ujar Rabil filsafatis diikuti tawa kecil dan tepukan tangan hadirin.


Seorang teroris yang melakukan aksi bom bunuh diri sampai ke alam kubur. Disana dia ditanya malaikat,
"Kenapa kau membunuh dirimu sendiri, padahal jika tidak, jatah usiamu masih panjang?"
"Karena aku sudah tak sabar untuk bertemu Tuhan!", jawab sang Teroris.
"Bukankah Tuhan telah memerintahkan kepadamu agar bersikap sabar?", tanya sang malaikat.
Teroris itu menyadari kekeliruannya, karena ketidaksabarannya bertemu Tuhan dia malah melanggar perintah Tuhan. Teroris itu pun menangis sejadi-jadinya.
-Lita fm-

Burung Hantu dan Burung Siang

Suatu masa di negeri hewan. Berbagai jenis burung bermusyawarah untuk menentukan tindakan apa yang akan mereka ambil atas perkataan salah satu spesies mereka, burung hantu. Sebelumnya telah diketahui khalayak, bahwa burung hantu pernah berujar,siang hari itu gelap, sedang malam hari itu cerah. Setelah berdiskusi panjang, mereka memutuskan untuk menangkap si burung hantu.

Di siang harinya, mereka menyerbu sarang sang burung hantu. Dia pun akhirnya tertangkap. Setelah di bawa ke suatu tempat, mereka menginterogasi dan memaksa agar si burung hantu lekas mengganti pernyataannya. Menurut mereka, pernyataan itu dapat menyesatkan karena bertentangan dengan pendapat umum. Namun, burung hantu tetap berpegang pada pendiriannya. Hampir-hampir, mereka memutuskan untuk menghukum mati si burung hantu. Namun, si burung hantu, mengajukan usul,

“Saudaraku, sungguh aku berpegang teguh pada keyakinanku. Sebab bagiku fakta tentang itu sungguh tak terbantahkan. Jika kalian semua tak percaya, silakan sediakan hambatan bagiku di malam hari, yang menurut kalian dapat membuat semua burung tidak akan mampu melewatinya.”

“Menurutku, dia berdusta. Barangkali dia sedang merencanakan sesuatu untuk kabur dari pengawasan kita.”, perkataan salah seorang hadirin meragukan ketulusan si burung hantu.

“Menurutku, hal itu patut dicoba untuk melihat, apakah ucapannya memang benar. Jika yang dikhawatirkan adalah pengawasan kita, bukankah kita dapat memperketatnya? Dan kita saling mempercayai satu sama lain.”, pendapat burung lain.

Setelah sekian waktu menukar pendapat. Akhirnya diputuskan, untuk membuat satu rintangan yang menurut mereka akan sukar dilewati di malam hari melalui penglihatan mereka. Sedang pengawasan pun diperketat untuk mencegah si burung hantu meloloskan diri.

Tiba waktunya, sang burung hantu dipanggil dari dalam kurungan. Dan dimasukkan ke dalam kurungan lain yang dipenuhi rintangan yang berbahaya lagi mematikan menurut penglihatan mayoritas burung di malam hari. Sekarang sang burung hantu disuruh untuk melaluinya, sedang semua jenis burung lain yang hidup di hutan itu menyaksikannya.

Sang burung hantu, terbang melewati bermacam-macam rintangan yang telah disediakan dengan tenang dan mudah. Semua hadirin terpukau, namun pikiran mereka masih menyisakan keraguan-keraguan tentang alasan di balik penglihatannya yang berbeda dengan umum.

Sang burung hantu menjawab, “Setiap makhluk diciptakan dengan struktur dan pengalaman yang berbeda-beda, maka pantaslah jika kita pun akhirnya berbeda-beda dalam melihat sesuatu.”

Akhir cerita, mereka pun hidup berdampingan dan saling melindungi. Burung hantu diberi tanggung jawab di malam hari. Sedang burung-burung lainnya melindungi kawanan itu di siang hari.

Membentangkan Nyali

Sinisme publik mengguyur hati
Mengiris bait-bait niat suci
Namun, Atar tak kan pergi
Dari janji yang telah terpatri
Mengukir keadilan yang hampir mati
Dihujam panah di bakar api
Keserakahan dan benci

Hedonisme datang menghempaskan
Nilai-nilai persaudaraan dan kerukunan
Membiaskan asa menggerogoti kesadaran
Tetapi, Atar tak gentar tetap menyulam
Makna kemanusiaan
Yang telah lama terbenam
Oleh konspirasi para binatang

Di antara lelucon yang merendahkan ketulusan hati
Di bawah terik gengsi yang menciutkan nyali
Atar bernyanyi dengan percaya diri
“Keberanianku lebih kuat daripada ketakutanmu
Dan kata-kata indahku lebih merdu
Daripada nada sumbangmu!”

Amanat Hati

Oh, diri!
Perhatikanlah hari!
Lambang gerak hidup yang berisi sejuta wangi
Aroma percikan hina dan suci

Duhai, mata!
Lihatlah dengan seksama!
Pilihan hidup yang berwarna-warna
Manakah yang kau suka?
Ilusi atau fakta?

Dan telinga!
Yang menerima alunan nada
Dari riak-riak pergaulan manusia
Pilihlah yang berirama
Jujur bukan dusta!

Dan mulut!
Senangkah engkau berkata kalut?
Berbalut kata kotor bagai belut
Tidakkah engkau takut?
Pada Tuhan yang akan menuntut?!

Pejuang Tangguh

Di pulau hedo diceritakan
Sang pelaut menatap bibir pantai dari kedekatan
Gulungan ombak saling berhamburan menyapa pandangan
Siraman deras hujan diiringi deru halilintar tak ketinggalan
Menghadirkan nuansa kelam menakutkan
Di laut tantangan

Namun, sang pelaut tak patah arang
Menuju pulau kedamaian di ujung seberang
Layar perahunya dikibarkan sebagai genderang
Mengarungi samudera bergelombang garang
Dalam terpaan badai, dia berjuang
Terkadang teringat perkataan orang,
“Engkau manusia bodoh, mengorbankan rasa senang
Melangkahkan kaki dalam perang
Hanya untuk kebenaran yang sudah hilang!”

Berulang kali tak terbilang
Pikiran ragu datang meronta ingin pulang
Namun, keyakinan tegar berpantang
Di antara sambaran petir terang benderang
Walau perahunya robek seakan mengerang
Hatinya tetap teguh berkumandang
Melantunkan nada-nada sayang

Dan badai pun berangsur sepi
Bersama wajah ombak yang melandai
Mengalunkan lembut sang pelaut ke tempat yang diingini
….
Sang pelaut gembira tak terkata
Merasakan cita-cita menjadi nyata
Nafasnya bebas sambil berkata
“Kalianlah yang bodoh, yang menutup mata
Pada kukuhnya fakta
Lagi enggan menuju pulau realita
Yang penuh dengan cinta!”

Sama tidak Sama

Saudaraku, bukankah kita menginjak bumi yang sama?
Bukankah kita di bawah langit yang sama?
Bukankah kita menghirup udara yang sama?
Tetapi, mengapa kita tidak bersama-sama
Menggapai harapan yang sama?
Kedamaian, kerukunan, dan cinta
Akankah itu hanya menjadi untaian kata
Yang… tak bermakna?

Raja yang Egois

Di negeri Antahberantah, seorang Raja ditanyai putranya yang bernama Logika.

“Ayah, kenapa Engkau hanya mengikuti pendapat Menteri Ego saja, apakah pembantu-pembantu Ayah yang lain tidak berarti apa-apa buat Ayah?”

“Emm, sebab dia sudah lama bersama Ayah. Dan selama itu Ayah selalu bergantung pada pendapatnya. Sehingga Ayah merasa tidak biasa jika tidak mengikuti pendapatnya.”

“Bolehkah aku memberikan pandanganku pada Ayah?”

“Tentu, Nak"

“Begini. Aku berfikir bahwa Menteri Ego itu hanya mendasarkan pendapatnya pada ketakutan dan sungguh tidak waras.”

“Apa maksudmu?”

“Dalam setiap musyawarah, dia selalu berpendapat seperti ini,
 

“Awas, Raja! Anda harus tetap bersamaku, dan jangan biarkan orang-orang mengetahuiku sebab itu akan membunuhku. Dan jika aku terbunuh Anda pun terbunuh…”, bukankah hal itu tidak waras! Ayah bukan Menteri Ego, kan? Jadi, kalaupun dia terbunuh karena keberadaannya diketahui, ayah tak mungkin terbunuh!”

“Engkau benar, anakku. Namun, Ayah merasa takut jika tidak mengikuti pendapatnya. Selama ini Ayah selalu mendasarkan perbuatan pada pendapatnya. Dan negeri ini pun dibangun di atas pendapatnya. Jadi, apa artinya Ayah, kamu dan negeri Manusia ini tanpa Menteri Ego?”

“Ayah takut karena Menteri Ego mengatakan Ayah akan takut jika menyalahinya. Dan Ayah lihat negeri yang dikembangkan dengan pendapatnya itu, hanya menghasilkan kekhawatiran, konflik, ketidakpuasan dan sama sekali tidak nyaman untuk ditempati. Lalu, apakah negeri seperti ini yang diimpikan Ayah?”

“Lalu, menurutmu bagaimana penyelesaiannya?”

“Aku berfikir bahwa Ayah mesti lebih bijak dalam menentukan keputusan. Melihat eksistensi masing-masing Menteri Penasihat Ayah. Dan aku berfikir bahwa Ayah adalah seorang Raja yang memiliki kekuasaan untuk mengatur mereka dan negeri ini, bukan dikuasai oleh salah satu dari mereka.”

Dengki, Benci, Putus Asa dan Bahagia

Alkisah di suatu negeri, orang-orang berkumpul, ada yang bernama Dengki, Benci, Putus asa dan Bahagia. Kemudian seseorang menanyai mereka,

“Hai, kenapa namamu Dengki?”

Si Dengki menjawab, “Sebab aku merasa tak berharga dibanding orang lain”

“Kalau kamu, kenapa namamu Benci?”

Si Benci menjawab, “Sebab aku merasa tak dihargai orang lain”

“Lalu kamu, kenapa namamu Putus asa?”

Si Putus asa menjawab, “Sebab aku merasa tak berharga dan tak dihargai orang lain”

“Sedang, kenapa namamu Bahagia?”

Bahagia menjawab, “Sebab aku mampu menghargai diriku dan menghargai orang lain.”