Ayo, siapa yang tak kenal mereka? Beliau-beliau ini
adalah beberapa dari qori dan qori’ah terbaik di Indonesia bahkan di dunia. Di kampung-kampung,
kawan-kawan akan sering mendengarkan lantunan ayat beliau-beliau ini terutama
sebelum solat Maghrib atau solat Shubuh, atau sebelum berbuka Puasa. Mungkin kalian akan
bertanya? Apa itu qori dan qori’ah?
Sedikitnya, ada tujuh macam bacaan yang berkembang di
dunia Islam dalam membacakan ayat-ayat Alquran sesuai dengan dialek umat di
suatu daerah. Istilah qiraat yang biasa digunakan adalah cara pengucapan tiap
kata dari ayat-ayat Alquran melalui jalur penuturan tertentu. Jalur penuturan
itu meskipun berbeda-beda karena mengikuti aliran (mazhab) para imam qiraat,
tetapi semuanya mengacu kepada bacaan yang disandarkan oleh Rasulullah SAW.
Perbedaan qiraat ini berkisar pada lajnah (dialek),
tafkhim (penyahduan bacaan), tarqiq (pelembutan), imla (pengejaan), madd
(panjang nada), qasr (pendek nada), tasydid (penebalan nada), dan takhfif
(penipisan nada). Contoh perbedaan qiraat yang paling sering kita jumpai adalah
imaalah. Pada beberapa lafal Alquran, sebagian orang Arab mengucapkan vocal 'e'
sebagai ganti dari 'a'. Misalnya, ucapan 'wadl-dluhee wallaili idza sajee. Maa
wadda'aka rabuka wa maa qolee'. Kendati masing-masing imam punya beberapa lafal
bacaan yang berbeda, dalam mushaf yang kita pakai sehari-hari tidak terdapat
tanda perbedaan bacaan itu. Perbedaan lafal bacaan ini hanya bisa kita temui
dalam kitab-kitab tafsir yang klasik. Biasanya, dalam kitab-kitab klasik
tersebut, akan ditemukan penjelasan tentang perbedaan para imam dalam membaca
masing-masing lafal itu.
Menurut berbagai literatur sejarah, perbedaan dalam
melafalkan ayat-ayat Alquran ini mulai terjadi pada masa Khalifah Usman bin
Affan. Ketika itu, Usman mengirimkan mushaf ke pelosok negeri yang dikuasai
Islam dengan menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf-mushaf
tersebut. Qiraat ini berbeda satu dengan lainnya karena mereka mengambilnya
dari sahabat yang berbeda pula. Perbedaan ini berlanjut pada tingkat tabiin di
setiap daerah penyebaran. Demikian seterusnya sampai munculnya imam qurra'.
Begitu banyaknya jenis qiraat sehingga seorang imam, Abu Ubaid al-Qasim ibn
Salam, tergerak untuk menjadi orang pertama yang mengumpulkan berbagai qiraat
dan menyusunnya dalam satu kitab.
Menyusul kemudian ulama lainnya menyusun berbagai
kitab qiraat dengan masing-masing metode penulisan dan kategorisasinya. Demi
kemudahan mengenali qiraat yang banyak itu, pengelompokan dan pembagian
jenisnya adalah cara yang sering digunakan. Dari segi jumlah, ada tiga macam
qiraat yang terkenal, yaitu qiraat sab'ah, 'asyrah, dan syadzah. Sedangkan, Ibn
al-Jazari membaginya dari segi kaidah hadis dan kekuatan sanadnya. Namun
demikian, kedua pembagian ini saling terkait satu dengan lainnya. Jenis qiraat
yang muncul pertama kali adalah qiraat sab'ah. Qiraat ini telah akrab di dunia
akademis sejak abad ke-2 H.
Namun, pada masa itu, qiraat sab'ah ini belum dikenal
secara luas di kalangan umat Islam. Yang membuat tidak atau belum
memasyarakatnya qiraat tersebut adalah karena kecenderungan ulama-ulama saat
itu hanya memasyarakatkan satu jenis qiraat dengan mengabaikan qiraat yang
lain, baik yang tidak benar maupun dianggap benar. Abu Bakar Ahmad atau yang
dikenal dengan Ibnu Mujahid menyusun sebuah kitab yang diberi nama Kitab
Sab'ah. Oleh banyak pihak, kitab ini menuai kecaman sebab dianggap
mengakibatkan kerancuan pemahaman orang banyak terhadap pengertian 'tujuh kata'
yang dengannya Alquran diturunkan.
Kitab Sab'ah disusun Ibnu Mujahid dengan dengan cara
mengumpulkan tujuh jenis qiraat yang mempunyai sanad bersambung kepada sahabat
Rasulullah SAW terkemuka. Mereka adalah Abdullah bin Katsir al-Dariy dari
Makkah, Nafi' bin Abd al-Rahman ibn Abu Nu'aim dari Madinah, Abdullah
al-Yashibiyn atau Abu Amir al-Dimasyqi dari Syam, Zabban ibn al-Ala bin Ammar
atau Abu Amr dari Bashrah, Ibnu Ishaq al-Hadrami atau Ya'qub dari Bashrah, Ibnu
Habib al-Zayyat atau Hamzah dari Kufah, dan Ibnu Abi al-Najud al-Asadly atau
Ashim dari Kufah. Ketika itu, Ibnu Mujahid menghimpun qiraat-qiraat mereka. Ia
menandakan nama Ya'qub untuk digantikan posisinya dengan al-Kisai dari Kufah.
Pergantian ini memberi kesan bahwa ia menganggap cukup Abu Amr yang mewakili
Bashrah. Sehingga, untuk Kufah, ia menetapkan tiga nama, yaitu Hamzah, Ashim,
dan al-Kisai.
Meskipun di luar tujuh imam di atas masih banyak nama
lainnya, kemasyhuran tujuh imam tersebut semakin luas setelah Ibnu Mujahid
secara khusus membukukan qiraat-qiraat mereka.
Nazam
Kendati ilmu qiraat berhubungan dengan pelafalan ayat-ayat Alquran, ia tidak
memiliki kaitan dengan melagukan bacaan Alquran. Khusus untuk masalah melagukan
Alquran, biasanya dijelaskan dalam nazam, yaitu seni membaca Alquran.
Keberadaan ilmu nazam diterangkan secara jelas dalam
firman Allah dalam surat Almuzzammil ayat 4, ''Bacalah Alquran itu secara
tartil.'' Di berbagai wilayah negeri Islam, berkembang aneka ragam seni membaca
Alquran. Dalam pelajaran nazam, dikenal berbagai jenis seni membaca Alquran,
seperti Nahawan, Bayati, Hijaz, Shaba, Ras, Jiharkah, Syika, dan lainnya. Semua
jenis lagu atau irama itu tidak ada kaitannya dengan ilmu qiraat sab'ah.
Semata-mata hanya seni membaca secara tartil (indah) dan tak ada kaitannya
dengan bagaimana melafalkan ayat Alquran.
Umumnya, para pembaca Alquran dari Mesir yang membawa
seni baca Alquran ke Indonesia. Mereka mengajarkan berbagai macam lagu dan
memberikan beragam variasinya serta membuat harmoni yang khas. Seni seperti
itulah yang sering kali diperlombakan dalam acara musabaqah tilawatil quran
(MTQ). Meski bukan satu-satunya jenis perlombaan, biasanya yang paling mencuat
memang masalah seni membaca. Sedangkan, bacaan qiraat sab'ah justru merupakan
cabang ilmu Alquran yang bersifat syar'i. Bahkan, dalam banyak hal, perbedaan
qiraat ini pun berpengaruh kepada perbedaan makna dan kesimpulan hukum.
Sedangkan, seni baca Alquran sama sekali di luar hal ini. Sebab, tujuannya
adalah menyuguhkan bacaan Alquran seindah mungkin. Nazam merupakan salah satu
bentuk ekspresi seni dalam Islam.
Nazam ini telah tumbuh sejak lama. Ibnu Manzur
menyatakan bahwa ada dua teori tentang asal mula munculnya nazam Alquran.
Pertama, nazam Alquran berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua,
nazam terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang.
Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Alquran berasal dari khazanah
tradisional Arab. Dengan teori ini pula, ditegaskan bahwa lagu-lagu Alquran idealnya
bernuansa irama Arab. Seni baca Alquran baru menampakkan geliatnya pada awal
abad ke-20 M yang berpusat di Makkah dan Madinah serta di Indonesia sebagai
negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang sangat aktif mentransfer ilmu-ilmu
agama (termasuk nazam) sejak awal abad ke-19 M.
Hingga hari ini, Makkah dan Mesir merupakan kiblat
nazam dunia. Masing-masing kiblat nazam memiliki karakteristik tersendiri.
Dalam Makkawi, dikenal lagu Banjakah, Hijaz, Mayya, Rakby, Jaharkah, Syikah,
dan Dukkah. Sementara itu, pada Misri terdapat Bayyati, Hijaz, Shoba, Ras,
Jiharkah, Sikah, dan Nahawan.
Pada abad ke-20, kedua model lagu tersebut masuk ke
Indonesia. Transmisi lagu-lagu tersebut dilakukan oleh ulama-ulama yang
mengkaji ilmu-ilmu agama di sana yang pulang ke tanah air untuk mengembangkan
ilmunya, termasuk seni baca Alquran. Lagu Makkawi sangat digandrungi di awal
perkembangannya di Indonesia karena liriknya yang sangat sederhana dan relatif
datar. Lagu Makkawi mewujud dalam Barzanji.
Beberapa qari yang menjadi eksponen aliran ini adalah
KH Arwani, KH Sya'roni, KH Munawwir, KH Abdul Qadir, KH Damanhuri, KH Saleh
Ma'mun, KH Muntaha, dan KH Azra'i Abdurrauf. Memasuki paruh abad ke-20, seiring
dengan eksebisi qari Mesir ke Indonesia, mulai marak berkembang lagu model Misri.
Pada tahun 60-an, Pemerintah Mesir menyuplai sejumlah maestro qari, seperti
Syekh Abdul Basith Abdus Somad, Syekh Musthofa Ismail, Syekh Mahmud Kholil Al
Hushori, dan Syekh Abdul Qadir Abdul Azim.
Animo dan
atensi umat Islam Indonesia terhadap lagu-lagu Misri demikian tinggi. Hal ini
disebabkan oleh karakter lagu Misri yang lebih dinamis dan merdu. Keadaan ini
cocok dengan kondisi alam Indonesia. Sejumlah qari yang menjadi elaboran lagu
Misri adalah KH Bashori Alwi, KH Mukhtar Lutfi, KH Aziz Muslim, KH Mansur
Ma'mun, KH Muhammad Assiry, dan KH Ahmad Syahid.
Baca dan Pahami Kandungan Alquran
Haji Muammar ZA tentu dikenal banyak orang. Dia adalah qari internasional asal
Indonesia yang menjadi juara MTQ tingkat internasional. Selain H Muammar ZA,
masih terdapat beberapa nama lain yang juga indah dan merdu dalam membaca
Alquran, di antaranya H Nanang Qosim, Maria Ulfa, dan H Khumaedi. Sebagai
seorang qari yang sangat fasih daam membaca Alquran, H Muammar berusaha
menularkan ilmu membaca Alquran kepada generasi muda Muslim masa kini. Bahkan,
di beberapa pesantren, sering diadakan pelatihan membaca Alquran secara tartil
(indah) dengan menggunakan seni baca Alquran.
Mereka ini umumnya bergabung dalam organisasi yang
bernama Jam'iyyatul Qurra wa al-Huffazh, organisasi yang membina pelajaran
membaca indah dan menghafal Alquran. Banyak orang yang ingin membaca Alquran
dengan baik dan benar serta mampu melafalkannya dengan seni yang indah. Menurut
H Muammar ZA, ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi seorang qari dalam
melafalkan ayat-ayat Alquran. Pertama, hendaknya Alquran dibaca secara fasih
dan dengan memerhatikan tajwid. Menurut Muammar, kedua hal ini merupakan syarat
utama dalam seni baca Alquran. Sehingga, kedua-duanya harus berjalan secara
harmonis. ''Kalau kita hanya mengejar lagu tanpa memerhatikan tajwid, ini
merupakan satu kesalahan yang sangat besar. Membaca dengan bertajwid, membaca
dengan fasih, kemudian dilagukan secara harmonis,'' sebagaimana diungkapkannya
dalam kaset bimbingan membaca Alquran dengan tartil. Kedua, seorang qari harus
mempunyai bakat dan juga hobi.
Menurutnya, kalau membaca Alquran sudah menjadi
sebuah hobi, itu dapat memberikan satu jaminan bahwa seseorang dapat berlatih
secara kontinu (istikamah). Sedangkan, dengan bakat yang dimiliki, berarti yang
bersangkutan memiliki suara yang khas dan dibutuhkan dalam membaca Alquran
dengan baik, benar, dan indah. Begitu juga dengan pernafasan, hendaknya sering
dilatih agar panjang. Ketiga, yang tidak kurang pentingnya, menurut Muammar, seorang
qari harus memiliki sifat sabar dan ikhlas.
Pelajaran seni baca Alquran dinilainya betul-betul
memerlukan kesabaran. Dalam mempelajari seni baca Alquran ini, seseorang akan
banyak menghadapi kesulitan-kesulitan. Sebab, pada seni baca Alquran, banyak hal
yang terkait di dalamnya, baik dari segi tajwidnya maupun qiraatnya. Kita perlu
mempelajari bagaimana pernafasan yang baik, bagaimana seluk-beluk lagu, dari
lagu A, B, C, dan sebagainya. Semua itu betul-betul memerlukan kesabaran.
Kemudian, kita juga harus ikhlas. Ikhlas dalam arti
betul-betul mempelajari seni baca Alquran ini karena Allah SWT semata. Lebih
jauh Muammar menuturkan bahwa lagu-lagu yang dianggap sebagai lagu pokok dalam
seni baca Alquran ini ada tujuh jenis. Yaitu, Bayyati, Shaba, Hijaz, Nahawan,
Ros, Jiharkah, dan Syika. Di luar ketujuh jenis lagu ini, dianggap sebagai lagu
cabang yang nantinya akan dipergunakan sebagai variasi dalam membentuk susunan
atau komposisi lagu.
Di antara lagu-lagu yang dianggap sebagai lagu
cabang, misalnya lagu Nakriz, Awsaq, Zinjiran, Raml, Karqouk, dan sebagainya.
Ketujuh jenis lagu pokok dalam seni baca Alquran ini biasanya dibawakan dalam
beberapa tahap tingkatan nada, dari mulai nada yang paling rendah sampai nada
yang paling tinggi. Dalam tatanan seni baca Alquran, tingkatan nada dikenal ada
empat tahap, yakni qarar (rendah), nawa (sedang), jawab (tinggi), dan jawabul
jawab (sangat tinggi). Jenis lagu inilah yang 'wajib' dipergunakan pada saat
diselenggarakan perlombaan membaca Alquran.
REPUBLIKA - Minggu, 05 Juli 2009
Penulis : dia/sya
Dan berikut link bagi kawan-kawan yang ingin
mendownload bimbingan-bimbingan maqro dari H Muamar ZA, H Muhamad Ali dan Hj
Maria Ulfa
dan
File-file ini sudah dikompress hingga ukurannya
kurang dari 4 MB, dengan durasi sampai hampir satu jam untuk masing-masing
link. Selamat mendownload!